19 Nyawa Jadi Korban, KMP Tunu Tenggelam Karena Overload

JAKARTA - Pemicu tenggelamnya Kapal Motor Penumpang (KMP) Tunu Pratama Jaya di Selat Bali akhirnya terjawab. Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) menyebutkapal naas itu tenggelam akibat overload atau kelebihan muatan hingga tiga kali lipat.
Wakil Ketua Komisi V DPR Syaiful Huda mendesak pihak-pihak yang terlibat dalam tenggelamnya KMP Tunu Pratama Jaya di Selat Bali diseret ke ranah pidana.
“Pemilik kapal beserta kru KMP Tunu Pratama harus bertanggung jawab terhadap kelalaian mereka yang memicu puluhan korban jiwa," kata Huda dalam keterangannya, Senin (28/7/2025).
Diketahui, KNKT menyampaikan temuan penyelidikan terkait penyebab tenggelamnya KMP Tunu Pratama Jaya di Selat Bali pada Selasa (22/7/2025). Hasilnya, karena kelebihan muatan hingga tiga kali lipat dari kapasitas maksimal. Hal itu diperparah dengan kendaraan di dalamnya tidak diikat (lashing).
Muatan yang seharusnya berkapasitas 138 ton, tapi berdasarkan hasil investigasi, muatannya berlebih hingga mencapai 538 ton. Tercatat, 19 orang meninggal dunia dan belasan lainnya hilang setelah dilakukan proses pencarian sejak Rabu (2/7/2025).
Huda mengatakan, Pemerintah harus memberikan sanksi tegas kepada mereka yang terlibat tragedi KMP Tunu Pratama ini sehingga tak terulang di masa depan.
Unsur kelalaian yang sebabkan korban jiwa dapat dikenai Pasal 359 dan Pasal 360 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Isinya, barangsiapa karena kelalaiannya mengakibatkan kematian orang lain atau luka-luka berat dapat dipidana paling lama 5 tahun penjara.
“Jerat pidana karena menyebabkan korban jiwa pada tenggelamnya KM Tunu Pratama Jaya ini harus dilakukan. Tidak ada toleransi jika terbukti melakukan kelalaian," tegas politikus PKB ini.
Dia juga menyoroti lemahnya pengawasan terhadap keselamatan pelayaran.
Bagaimana mungkin kapal dengan muatan tiga kali lipat bisa tetap diizinkan berlayar? Ini pelanggaran yang nyata,” ucapnya.
Huda menambahkan, jerat hukum juga diatur dalam UU No. 17 Tahun 2018 tentang Pelayaran. Dalam Pasal 302 disebutkan bahwa nakhoda yang tetap melayarkan kapal meskipun mengetahui kondisi tidak laik laut, bisa dihukum hingga 3 tahun penjara dan denda Rp 400 juta. Bila menyebabkan korban jiwa dan kerugian harta benda, hukumannya bisa meningkat menjadi 10 tahun penjara dan denda Rp1,5 miliar.
Pemerintah wajib menegakkan hukum secara adil dan tanpa intervensi agar nyawa para korban tidak sia-sia,” kata Huda.
Wakil Ketua Komisi V DPR Ridwan Bae menambahkan, kecelakaan laut bukan hal baru dan kerap terjadi dari tahun ke tahun. Persoalan ini menunjukkan lemahnya manajemen serta pengawasan dalam sistem transportasi laut nasional.
Diperlukan kerja keras dari Menteri Perhubungan (Menhub) bersama Ditjen Perhubungan Laut untuk segera membenahi sistem yang ada," saran Ridwan dalam keterangannya, Senin (28/7/2025).
Ridwan menilai, lemahnya manajemen kapal dan minimnya pengawasan menjadi akar masalah yang belum terselesaikan. Contohnya, praktik modifikasi kapal yang tidak sesuai peruntukan, seperti kapal Landing Craft Tank (LCT) diubah menjadi kapal penumpang (KMP), tanpa standar keselamatan yang memadai.
Bahkan tonasenya diubah seenaknya dari 3.000 Gross Ton (GT) menjadi 5.000 GT. Ini seperti praktik ‘odol’ di laut dan berbahaya," kata politikus Partai Golkar ini.
Karena itu, Ridwan mendorong Kementerian Perhubungan (Kemenhub) agar menghadirkan sistem pengawasan yang ketat dan andal, baik dari sisi muatan, kondisi kapal, hingga kelayakan pelayaran. Setiap kapal harus benar-benar dinyatakan layak jalan oleh seluruh elemen pengawasan.
Bila ada satu saja aspek keselamatan yang belum siap, maka kapal itu tidak boleh diberangkatkan. Soalnya ini menyangkut nyawa manusia," tandasnya.
Olahraga | 1 hari yang lalu
Pos Banten | 1 hari yang lalu
Olahraga | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Galeri | 2 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
Pos Banten | 11 jam yang lalu
Galeri | 2 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
TangselCity | 6 jam yang lalu