Tarif Presiden Trump Senjata Makan Tuan

AS - Kebijakan tarif resiprokal yang diberlakukan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump kepada banyak negara, termasuk Indonesia, menjadi senjata makan tuan. Bukannya mendongkrak, justru ekonomi AS mengalami pelambatan. Inflasi melonjak dan badai PHK merajalela.
Padahal saat berkampanye dulu, Trump sesumbar akan membawa kejayaan ekonomi dan surplus neraca dagang lewat slogan "America First 2.0". Tarif resiprokal ke berbagai negara dijadikan senjata utama. Namun, bukannya mendongkrak ekonomi, kebijakan itu justru bikin AS ngos-ngosan.
Dalam laporan Produk Domestik Bruto (PDB) yang dirilis Rabu (30/7/2025), ekonomi AS hanya tumbuh 1,3 persen secara tahunan pada kuartal II 2025. Jauh melorot dari periode sama tahun lalu sebesar 2,8 persen.
“Ekonominya seperti jalan di tempat. Pengangguran belum naik, tapi penambahan kerja minim banget. Tumbuhnya lambat,” cetus Guy Berger, peneliti senior Burning Glass Institute, seperti dikutip AFP, Minggu (3/8/2025).
Sektor pekerjaan makin memprihatinkan. Sejak tarif diberlakukan pada April lalu, AS justru kehilangan sekitar 37.000 pekerjaan manufaktur.
Sementara itu, inflasi terus merangkak naik. Harga barang mengalami kenaikan 2,6 persen pada periode Juni dibandingkan tahun sebelumnya, lebih tinggi dibandingkan 2,2 persen pada April. Kenaikan terbesar terjadi pada barang-barang impor seperti perabot, furnitur, dan mainan.
Sektor kesehatan masih berdenyut dengan penambahan 55 ribu pekerjaan, disusul layanan sosial 18 ribu. Tapi sektor industri, perdagangan, hingga pariwisata? Datar. Malah banyak yang tiarap.
Yang lebih serem, pemangkasan pegawai makin brutal. Sebanyak 62.075 orang dipangkas per Juli 2025. Naik 29 persen dibanding Juni, dan melonjak 140 persen dibanding tahun lalu. PHK jadi pemandangan harian.
Produksi industri juga ngos-ngosan. Juni lalu cuma naik 0,3 persen, setelah dua bulan sebelumnya stagnan. Sektor otomotif bahkan ambrol 2,6 persen gara-gara tarif impor yang bikin permintaan anjlok. Tambang juga ikutan lesu. Biang keroknya, tak lepas dari tarif impor ugal-ugalan yang diberlakukan Trump.
Sejak April, Gedung Putih mengenakan tarif rata-rata 10 persen untuk seluruh negara. Itu belum termasuk tarif tambahan untuk baja, mobil, dan produk strategis lainnya. Sayangnya, tarif ini malah merugikan rakyat Amerika sendiri.
Dulu, rata-rata tarif impor ke AS cuma 1,2 persen. Tapi per 7 Agustus, Laboratorium Anggaran Yale memprediksi tarif akan melonjak jadi 18 persen. Padahal, naiknya harga barang, tak sebanding dengan mayoritas kantong warga AS
Apple misalnya. CEO-nya, Tim Cook, sampai garuk-garuk kepala. “Kami sudah habiskan USD 800 juta hanya untuk bayar tarif di kuartal April-Juni. Kuartal ini bisa tembus USD 1,1 miliar,” curhat Cook di forum analis.
Produsen otomotif seperti GM, Stellantis, Volkswagen, hingga Walmart, juga kena getahnya. Tarif impor yang diberlakukan Trump bikin beban biaya melonjak. Sebagian perusahaan terpaksa naikkan harga ke konsumen.
Namun, Presiden Trump tak percaya dengan data-data tersebut. Trump bahkan ngamuk ke lembaga statistik. Kepala lembaga tenaga kerja langsung dipecat gegara data dianggap merugikan.
“Angka-angka itu dimanipulasi. Ekonomi kita sebenarnya booming,” klaim Trump di akun Truth Social-nya. Yah, klasik.
Padahal data berkata lain. Dalam tiga bulan terakhir, penambahan lapangan kerja terus anjlok: Juli 73 ribu, Juni 14 ribu, Mei 19 ribu. Jauh dari rerata tahun lalu yang mencapai 168 ribu per bulan.
Bukan hanya AS, negara-negara mitra dagang juga kena imbas. Termasuk Indonesia. Ekonom CORE Indonesia, Yusuf Rendy Manilet bilang, beban tarif ujung-ujungnya dibayar rakyat AS. Tapi efeknya juga dirasakan negara pengekspor, termasuk RI.
“Makin mahal harga barang di AS, makin kecil permintaannya. Industri ekspor kita bisa ikut terpuruk,” jelas Yusuf.
Indonesia memang sempat dapat ‘bonus’ dari AS: bea masuk nol persen untuk produk tertentu. Tapi Yusuf mengingatkan, jangan terlalu manja. Kebijakan ini rawan bikin iri negara lain.
“Kalau tak ada kesepakatan multilateral, perlakuan khusus bisa diprotes negara lain. Kita bisa digugat lewat mekanisme WTO,” tandasnya.
Yusuf menyarankan agar pemerintah RI bersiap negosiasi ulang. “Kalau perlu, kebijakan itu dicabut. Jangan sampai kita dikibuli dua kali," pungkasnya.
Nasional | 2 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
Nasional | 1 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
Galeri | 1 hari yang lalu
Nasional | 19 jam yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu