Gaungkan No Tax For Knowledge
Berikan Bebas Pajak Untuk Pers Dan Produk Edukatif
JAKARTA - Forum Pemimpin Redaksi (Pemred) meminta Pemerintah memberikan insentif pajak bagi perusahaan media massa. Usulan bertajuk No Tax for Knowledge dinilai penting untuk menjaga keberlanjutan industri pers di tengah tekanan bisnis.
Ketua Forum Pemred Retno Pinasti menegaskan, keringanan fiskal diperlukan agar media tetap mampu menjalankan fungsi edukasi dan menangkal hoax.
Retno mengatakan, industri media mainstream saat ini sedang tidak baik-baik saja. Diperlukan langkah-langkah strategis untuk menjaga keberlangsungan industri media massa. Salah satunya insentif pajak.
Retno menceritakan, usulan tersebut sudah disampaikan kepada Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa saat menghadiri gelaran Run for Good Journalism 2025 yang digelar Forum Pemred di Jakarta, Minggu (16/11/2025). Namun, memang belum ada pembicaraan lebih lanjut dengan Pemerintah.
Pak Purbaya (Menkeu) pun baru pertama dengar usulan tersebut. Jadi, tidak mungkin juga langsung bilang no atau yes. Minimal ini bisa jadi semacam awareness,” kata Retno saat dikontak Redaksi, Senin (17/11/2025).
Menurut Retno, usulan insentif pajak ini masih dalam tahap awal. Bahkan, jenis pajak yang ingin dipangkas pun belum dibahas lebih jauh.
Dalam waktu dekat, Forum Pemred akan mengajak sebanyak mungkin asosiasi wartawan untuk menyatukan sikap dan memperkuat dukungan atas inisiatif ini.
“Saya paham antar-institusi jurnalistik itu tidak mudah untuk solid, karena model bisnisnya saja berbeda-beda. Tapi saya yakin inisiatif ini yang paling bisa diterima semua pihak,” ujarnya.
Pemimpin Redaksi SCTV ini menegaskan, insentif pajak sebaiknya diberikan kepada media yang terverifikasi Dewan Pers dan konsisten memberikan edukasi, serta informasi yang akurat kepada publik.
Dia menilai langkah ini penting untuk menjaga kemampuan media dalam menyediakan informasi kredibel, sekaligus menangkal penyebaran hoax yang semakin marak.
Keringanan fiskal diyakini membuat perusahaan media massa berinvestasi pada peningkatan mutu konten dan kerja jurnalistik.
“Saya rasa hoax dampaknya luar biasa. Contoh aksi kerusuhan di akhir Agustus–September lalu, banyak sekali informasi hoaksnya. Media mainstream sangat besar meluruskan informasi yang enggak karu-karuan,” jelasnya.
Untuk itu, kita sama-sama kampanyekan jurnalisme berkualitas. Kita lawan hoax, serta kita perjuangkan kesinambungan dan sustainability media yang terverifikasi dan berintegritas,” tambah Retno.
Ketua Dewan Pers Prof. Komaruddin Hidayat menyambut baik inisiatif tersebut. Komaruddin menilai, Pemerintah harus mendorong produksi dan penyebaran ilmu pengetahuan, termasuk melalui dukungan fiskal untuk media.
“Setuju sekali. Hapuskan pajak untuk produksi dan kreasi ilmu pengetahuan. Industri media saat ini sedang terpuruk,” katanya kepada Redaksi, Senin (17/11/2025).
Bahkan, Komaruddin mengusulkan sebaiknya Pemerintah juga mendorong terbentuknya endowment fund atau dana abadi. Dana abadi ini bisa digunakan untuk pengembangan media yang berkualitas dan profesional untuk meng-counter buzzer dan hoax yang meracuni nalar masyarakat.
Sebelumnya, Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudi Sadewa menyatakan akan mempelajari usulan “No tax for Knowledge” tersebut.
Dia menyadari, tantangan bisnis media kian berat. Di sisi lain, media punya peran penting bagi ekonomi Indonesia.
Menurutnya, saat ekonomi melambat, jurnalis punya tanggung jawab moral untuk mengawasi.
“Tadi saya sempat diskusi dengan para pemred, mereka ngeluh katanya bisnis jurnalisme lagi turun. Saya bilang, itu karena Anda kemarin-kemarin nggak protes cukup banyak, sehingga ekonomi jatuh, Anda diem aja. Ke depan mesti kritik, kasih masukan biar kita nggak jatuh lagi ekonominya,” ujarnya.
Seperti diketahui, meski berperan sebagai pilar demokrasi, perusahaan pers tetap diperlakukan seperti badan usaha lain dalam urusan perpajakan. Mereka wajib menanggung berbagai jenis Pajak Penghasilan. Mulai dari PPh Badan, PPh 21 untuk karyawan dan wartawan, PPh 23 untuk jasa kreatif dan produksi iklan, hingga PPh Final atas sewa gedung atau peralatan.
Jika bekerja sama dengan pihak luar negeri, perusahaan media juga dibebani PPh 26 atas pembayaran royalti atau lisensi.
Selain itu, media menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP) sehingga harus memungut PPN atas penjualan ruang iklan, produksi konten iklan, layanan digital berbayar, hingga merchandise. Di sisi lain, mereka tetap membayar PPN Masukan untuk pembelian kamera, perangkat siaran, komputer, jasa pihak ketiga, dan bahan baku seperti kertas untuk media cetak. Beberapa pengecualian PPN untuk koran dan majalah pernah berlaku saat pandemi Covid-19, tetapi sifatnya tidak permanen.
Di tingkat daerah, media juga dikenai biaya tambahan berupa Pajak Reklame, Pajak Penerangan Jalan, serta berbagai retribusi izin usaha dan penggunaan bangunan.
Untuk sektor penyiaran, ada pula pungutan khusus seperti biaya izin penyiaran dan spektrum frekuensi. Lapisan pajak dan pungutan inilah yang membuat keberlanjutan bisnis media kerap tertekan dari sisi fiskal.
TangselCity | 2 hari yang lalu
Olahraga | 1 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
Olahraga | 1 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
Nasional | 1 hari yang lalu
Pos Banten | 1 hari yang lalu



