Millenial: ``Agama Adalah Nuklir`` (1)

JAKARTA - Ketika mengikuti wacana keagamaan kalangan millenial, tidak sedikit di antara mereka mengesankan agama bagaikan nuklir. Nuklir, di satu sisi bisa memberikan kegunaan luar biasa. Nuklir bisa menjadi sumber energi listrik raksasa dengan biaya yang sangat murah.
Nuklir digunakan sebagai kekuatan pembangkit tenaga listrik oleh enam negara berpenduduk besar di dunia seperti AS, China, India, Jepang, kecuali Indonesia.
Akan tetapi, di sisi lain Nuklir bisa menjadi bumerang bagi dunia kemanusiaan sebagaimana peristiwa bom nuklir yang tak terlupakan pernah memusnahkan Hirosima dan Nagasaki; apalagi mereka sering menyaksikan video ledakan bom yang dilakukan oleh berbagai aktifis agama dari berbagai agama.
Mereka menyadari bahwa agama memiliki dua kekuatan dahsyat, yaitu satu sisi agama bisa tampil sebagai kekuatan daya penyatu (centripetal), yang bisa menenggelamkan ikatan-ikatan primordial seperti ikatan kekerabatan, kesukuan, dan kebangsaan.
Pada sisi lain, agama juga bisa tampil sebagai kekuatan daya pemecah belah (centrifugal), yang bisa memorak porandakan sebuah keharmonisan di dalam masyarakat.
Dalam skala nasional, agama bisa tampil sebagai faktor integrasi nasional, tetapi agama juga bisa tampil sebagai faktor desintegrasi nasional, bahkan global.
Dalam sebuah masyarakat yang pluralis, yang dipadati multi etnik, bahasa, dan agama, apa lagi terpisah-pisah oleh hamparan kepulauan seperti Indonesia, maka disadari betul betapa perlunya memelihara peran agama sebagai faktor sentripetal di dalam bernegara.
Sudah terbukti di dalam sejarah bahwa kekuatan agama sebagai faktor sentripetal sudah pernah berhasil menghimpun daya yang luar biasa mengusir penjajah dan meraih kemerdekaan.
Bagi mereka yang beragama Islam yang kebetulan menjadi penduduk mayoritas di negeri ini, dengan komando "Allahu Akbar" sebagaimana dikumandangkan oleh sejumlah tokoh pahlawan nasional, seperti arek-arek Suroboyo yang dikomando oleh Bung Tomo dan tokoh-tokoh lainnya di berbagai belahan bumi nusantara, bisa membakar semangat juang dan jihad di dalam masyarakat di dalam melawan penjajah.
Agama di Indonesia umumnya selalu tampil sebagai kekuatan sentripetal dan hampir tidak kedengaran agama tampil sebagai faktor sentrifugal.
Di situ kelihatan bagaimana peran agama, khususnya Islam, dapat mempersatukan yang berbeda, menghimpun yang berserakan, menjadi pelindung bagi kaum minoritas, dan mengedit kembali bangsa yang sudah porak-poranda ketika itu.
Kelompok agama-agama lain juga bahu membahu dan memberikan seruan yang sama di dalam membela Tanah Air.
Akhirnya, kemerdekaan RI dapat dicapai. Peran agama yang sedemikian ini, mengilhami The Founding Fathers kita di dalam menyusun naskah UUD 45.
Kata-kata "Atas Rahmat Allah Yang Maha Kuasa…", disadari atau tidak, kekuatan agama sebagai faktor sentripetal telah berjasa besar di dalamnya.
Bukan sampai di situ peran agama. Agama juga bisa menjadi kekuatan penggerak akselerasi pembangunan.
Dengan menggunakan bahasa agama, sudah barang tentu loyalitas masyarakat umat beragama mengerahkan segenap tenaganya untuk menyukseskan pembangunan, karena mereka yakin membangun negeri merupakan bagian dari jihad.
Banyak kendala sosiologis tetapi dengan menggunakan bahasa agama, kendala itu menjadi selesai.
Misalnya, pertumbuhan angka penduduk yang begitu tinggi, dapat ditekan melalui konsep Keluarga Berencana (KB) yang menggunakan bahasa agama melalui tokoh-tokoh agama.
Kerukunan antar umat beragama menjadikan berbagai perbuatan kriminal sebagai musuh bersama. (rm.id)
Nasional | 2 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
Galeri | 2 hari yang lalu
Nasional | 1 hari yang lalu
Pos Banten | 20 jam yang lalu
Olahraga | 2 hari yang lalu
Nasional | 1 hari yang lalu
Pos Banten | 20 jam yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
Galeri | 19 jam yang lalu