Pers Saat Ini Sedang Tidak Baik-baik Saja, Pemerintah Harus Ikut Turun Tangan
MEDAN - Kondisi pers saat ini sedang tidak baik-baik saja. Perkembangan teknologi informasi membuat media takluk pada distribusi yang sudah di-drive platform global seperti Google. Akibatnya, kualitas jurnalisme menurun karena sebagian besar media terpaksa memproduksi berita clickbait.
Untuk mengatasi persoalan ini, dibutuhkan regulasi yang mampu mengatur ekosistem bisnis antara platform dan media. Dengan regulasi itu, diharapkan industri pers terlindungi dan kualitas jurnalisme perlahan membaik.
Keresahan soal kondisi pers yang sedang tak baik-baik itu antara lain disampaikan Ketua Forum Pemred Arifin Asydhad. Menurut dia, hampir semua media online saat ini mengikuti ketentuan dari platform digital agar bisa mendapat pembaca yang banyak.
Ia mencontohkan, bagaimana media berusaha membuat berita acara bisa masuk di mesin pencarian seperti Google Search. Salah satu cara yang dilakukan adalah dengan memproduksi konten clickbait.
Clickbait adalah istilah pembuatan berita yang menampilkan judul bombastis, kadang tidak relevan dengan isinya, hanya untuk menggaet klik. Akibatnya, kualitas jurnalisme menurun.
Padahal, menurut dia, Google bisa diarahkan agar masyarakat bisa mencari informasi yang baik. Seperti, mulai dari menampilkan media yang terakreditasi. "Ini bisa diperbaiki karena itu kan soal algoritma," terangnya.
Persoalan lain yang dihadapi media, kata Arifin, adalah perkembangan media sosial yang banyak memproduksi berita hoaks. Ini mengkhawatirkan.
Apalagi dampak buruk dari media sosial yang memproduksi hoaks dalam tren eksponensial. Ke depan, dampak buruknya akan lebih banyak kalau tidak direm.
Menghadapi kondisi itu, ia berharap semua stakeholder, media massa, platform global, dan pemerintah duduk bersama untuk membangun ekosistem yang baik.
"Untuk menguatkan ekosistem itu, perlu ada regulasi yang memang sudah dibahas sejak dua tahun lalu. Semoga ini bisa dipahami bersama dan direalisasikan," ungkapnya.
Ia juga mengimbau media massa agar kembali ke jalan yang benar. Yaitu memproduksi produk jurnalisme yang berkualitas. Tidak lagi memproduksi konten clickbait.
"Kita sudah tersesat hampir 10 tahun. Ayo kita fokus pada jurnalisme berkualitas," ajaknya.
Arifin mengatakan, masyarakat punya hak untuk mendapatkan informasi dari mana pun. Dari media massa oke, dari media sosial juga bisa. Persoalannya, apakah informasi itu bisa dipertanggungjawabkan. Sementara di media sosial banyak sekali akun anonim.
Dalam kondisi ini, negara harus hadir agar di rimba informasi ini, masyarakat tetap mendapatkan informasi yang baik dan bermanfaat. Ia mencontohkan, bagaimana orang berlomba membuat konten di TikTok. Padahal di negara asalnya, di China, konten TikTok dibatasi hanya untuk konten positif seperti motivasi dan lainnya. Di Indonesia, semua bisa digarap.
Anggota Majelis Etik Asosiasi Media Siber Indonesia Metta Dharmasaputra merasakan kekhawatiran yang sama. Kata dia, beberapa bulan lalu,
Ia mengikuti pertemuan yang digagas oleh International Press Institute (IPI), di Columbia University, Amerika Serikat. Dalam forum itu, hadir insan pers dari berbagai negara, termasuk dua jurnalis penerima Nobel yaitu Maria Ressa dari Filipina dan Dimitry Muratov dari Rusia.
Kata dia, problem di Indonesia juga dirasakan negara lain di berbagai benua. Keluhannya sama persis. Bagaimana platform menjadi ancaman demokrasi dan jurnalisme.
Kata dia, secara umum, ada dua ancaman terhadap pers saat ini. Pertama, ancaman terhadap kualitas konten. Kedua, terhadap bisnis model.
Menurut Metta, dari forum itu diketahui semua negara sedang berjuang dengan susah payah menghadapi fenomena global ini. Setiap negara sedang merumuskan regulasi masing-masing untuk menjaga dua hal itu yaitu, kualitas konten dan bisnis model.
"Ini tidak mudah karena pertaruhannya menyangkut kualitas media dan demokrasi," kata Metta.
Yang menarik, kata dia, saat acara penerimaan Nobel, Maria Ressa dan Dimitry menandatangani 10 aksi seruan kepada pemerintah untuk memprotek jurnalisme dan demokrasi. Salah satu seruan itu adalah mem-banned surveillance ads.
Platform ini dianggap berbahaya karena memungkinkan terjadinya polarisasi karena setiap individu hanya memperoleh informasi yang sesuai dengan perilakunya. Efeknya sudah terlihat di Indonesia pada Pilpres. Ketika itu, polarisasi makin lebar karena pemilih A hanya mendapat informasi A, Pemilih B hanya mendapat informasi B.
"Nah pola ini tentu tidak sehat," ujarnya.
Persoalan lain adalah kehadiran influencer yang juga memproduksi dan mendistribusikan informasi. Menurut Metta, media memproduksi berita dengan tata cara yang lebih rumit dan memakan biaya.
Sementara, para influencer lebih longgar. Di sini lah pentingnya regulasi dari pemerintah untuk menciptakan lapangan bermain yang sama bagi media dan influencer.
Menurut dia, salah satu regulasi yang juga penting diperjuangkan adalah hak cipta jurnalistik. Ini bisa menjadi semacam valuasi bagi media yang sudah susah payah memproduksi berita.
Terakhir, Metta menyoroti hasil Massachusetts Institute of Technology (MIT) yang menyebut kecepatan berita hoaks 6 kali lebih cepat dari berita sesungguhnya. Karena itu, untuk memerangi hoaks tak bisa hanya mengandalkan media mainstream. Butuh keterlibatan perusahaan platform untuk melakukan kurasi dalam sistem mereka. Sehingga kualitas berita akan lebih baik.
Ketua Harian Serikat Perusahaan Pers (SPS) Januar P Ruswita menyampaikan, bagi media cetak, kondisi pers saat ini sedang berdarah-darah. Jumlah perusahaan media cetak anggota SPS terus menurun. Pada 2021, masih ada 593 media cetak. Pada 2022 yang terdaftar tinggal 399 media. Jumlah tirasnya pun menurun. Pada 2021 masih ada sekitar 7,5 juta eksemplar media cetak per terbit. Namun, angka itu anjlok menjadi sekitar 5 juta eksemplar per terbit pada 2022.
Menurut Januar, tantangan media cetak saat ini adalah perubahan pola baca konsumen. Generasi muda kini tidak lagi berminat membaca koran atau majalah dan lebih memilih media online atau bahkan media sosial.
Hal ini pun membuat media cetak harus berinovasi agar tidak kehilangan pembaca. Salah satunya perubahan strategi konten. Media cetak tak bisa lagi hanya mengandalkan berita hard news. Meningkatkan konten hard news sudah terlebih dahulu tergarap oleh berbagai media online, radio, hingga televisi.
Meski begitu, Januar optimistis media cetak tetap akan bertahan di waktu mendatang. Dia meyakini, selama masih ada generasi baby boomers, generasi X, beberapa dari generasi milenial, hingga belanja iklan, media cetak akan bisa bertahan. "Media cetak harus melakukan transformasi dengan benar dan tepat," ujarnya.
Persoalan lain adalah kehadiran influencer yang juga memproduksi dan mendistribusikan informasi. Menurut Metta, media memproduksi berita dengan tata cara yang lebih rumit dan memakan biaya.
Sementara, para influencer lebih longgar. Di sini lah pentingnya regulasi dari pemerintah untuk menciptakan lapangan bermain yang sama bagi media dan influencer.
Menurut dia, salah satu regulasi yang juga penting diperjuangkan adalah hak cipta jurnalistik. Ini bisa menjadi semacam valuasi bagi media yang sudah susah payah memproduksi berita. Terakhir, Metta menyoroti hasil Massachusetts Institute of Technology (MIT) yang menyebut kecepatan berita hoaks 6 kali lebih cepat dari berita sesungguhnya.
Karena itu, untuk memerangi hoaks tak bisa hanya mengandalkan media mainstream. Butuh keterlibatan perusahaan platform untuk melakukan kurasi dalam sistem mereka. Sehingga kualitas berita akan lebih baik.
Ketua Harian Serikat Perusahaan Pers (SPS) Januar P Ruswita menyampaikan, bagi media cetak, kondisi pers saat ini sedang berdarah-darah. Jumlah perusahaan media cetak anggota SPS terus menurun. Pada 2021, masih ada 593 media cetak.
Pada 2022 yang terdaftar tinggal 399 media. Jumlah tirasnya pun menurun. Pada 2021 masih ada sekitar 7,5 juta eksemplar media cetak per terbit. Namun, angka itu anjlok menjadi sekitar 5 juta eksemplar per terbit pada 2022.
Menurut Januar, tantanganq media cetak saat ini adalah perubahan pola baca konsumen. Generasi muda kini tidak lagi berminat membaca koran atau majalah dan lebih memilih media online atau bahkan media sosial.
Hal ini pun membuat media cetak harus berinovasi agar tidak kehilangan pembaca. Salah satunya perubahan strategi konten.
Media cetak tak bisa lagi hanya mengandalkan berita hard news. Meningkatkan konten hard news sudah terlebih dahulu tergarap oleh berbagai media online, radio, hingga televisi.
Meski begitu, Januar optimistis media cetak tetap akan bertahan di waktu mendatang. Dia meyakini, selama masih ada generasi baby boomers, generasi X, beberapa dari generasi milenial, hingga belanja iklan, media cetak akan bisa bertahan.
"Media cetak harus melakukan transformasi dengan benar dan tepat," ujarnya. rm.id
Olahraga | 15 jam yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Nasional | 1 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
Nasional | 1 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu