TangselCity

Pos Tangerang

Pos Banten

Politik

Olahraga

Nasional

Pendidikan

Ekonomi Bisnis

Galeri

Internasional

Selebritis

Lifestyle

Opini

Hukum

Advertorial

Kesehatan

Kriminal

Indeks

Dewan Pers SinPo

Dipertanyakan Komnas Perempuan

Kok, Persyaratan Bebas Kekerasan Seksual Hilang

Laporan: AY
Senin, 15 Mei 2023 | 08:10 WIB
Olivia Salampessy Wakil Ketua Komnas Perempuan. Foto : Ist
Olivia Salampessy Wakil Ketua Komnas Perempuan. Foto : Ist

JAKARTA - Komnas Perempuan memper ta nyakan hilangnya klausul ‘tak pernah melakukan kejahatan seksual pada anak’ sebagai syarat bakal calon anggota legislatif (Caleg). Hal ini terjadi karena perubahan persyaratan ba kal calon anggota legis latif (ba caleg) sebagaimana pasal 11 (ayat 1) huruf g dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 20 tahun 2018. PADA PKPU Nomor 20 Tahun 2018,

Pada PKPU Nomor 10 Tahun 2023 ketentuan tersebut dibuat umum, sehingga tidak memberikan pembatasan terhadap orangorang yang diduga sebagai pelaku kejahatan seksual.

Wakil Ketua Komnas Perempuan Olivia Salampessy menyayangkan syarat bacaleg terkait tidak pernah melakukan tindak pi dana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih.

Aturan itu, kata dia, tidak secara khusus menyebut kekerasan berbasis gender, khususnya kekerasan seksual akan berkontribusi terhadap tata pemerintahan.

Padahal, kata Olivia, dalam UndangUndang Tindak Pidana Kekerasan Seksual meman datkan Pemerintah melakukan berbagai upaya pencegahan, termasuk di bidang pemerintahan dan tata kelola kelembagaan.

“Ini artinya, sejak proses pe rek rutan harus dipastikan calon pe jabat publik tidak memiliki riwayat sebagai pelaku kekerasan seksual,” tegas Olivia dalam keterangannya, kemarin.

Olivia juga menyesalkan perumusan dalam PKPU 10 Tahun 2023 hanya melarang seseorang dengan ancaman lima tahun atau lebih.

Hal ini akan menyebabkan kasus-kasus yang diancam di bawah lima tahun seperti pelecehan seksual nonfisik, kekerasan seksual berbasis elektronik atau perbuatan asusila di muka umum tidak akan terkena larangan ini.

Jabatan politik menjadi salah satu sumber kuasa. Jika pelaku kekerasan seksual tidak dibatasi akses pada kekuasaan, bisa jadi dia akan mengulangi perbuatan nya,” kata dia, mengingatkan.

Olivia berjanji akan meman tau rencana KPU yang akan merevisi PKPU Nomor 10 Ta hun 2023 tentang Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota.

Pasalnya, kata dia, aturan itu mempersempit ruang politik perempuan yang hendak mencalonkan diri sebagai anggota DPR dan DPRD.

Menurutnya, penghitungan 30 persen jumlah bakal calon perempuan di setiap daerah pemilihan (dapil) menghasilkan angka pecahan kurang dari 50, maka akan dilakukan pembu latan ke bawah. Peraturan ini merugikan caleg perempuan, sehingga kuota 30 persen sema kin sulit dipenuhi.

Padahal, kata Olivia, keterwakilan perempuan dalam de mo krasi adalah strategi untuk mem percepat terpenuhinya kesetaraan gender. Jadi, kebijakan afirmasi ini adalah pendekatan substantif dalam konvensi peng hapusan segala bentuk diskrimi nasi terhadap perempuan.

Yaitu, sebagai suatu koreksi, asistensi, dan kompensasi ter hadap perlakuan diskriminatif yang dialami perempuan selama berabadabad, sehingga tindakan afirmasi ini bukan diskriminasi.

Komisioner Komnas Perem puan Siti Aminah Tardi menam bahkan, dalam UndangUndang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual disebutkan bahwa Pemerintah Daerah (Pemda) dan Pemerintah Pusat (Pempus) serta berbagai lembaga diamanati untuk mencegah terjadinya kekersan seksual.

Menurutnya, pejabat publik adalah sumber kuasa. Sementara itu, kekerasan seksual kerap terjadi karena adanya faktor relasi kuasa.

“Ketika seseorang di jabatan politik dan pemerintahan se mentara dia belum dekonstruksi isu kekeraaan seksual yang dia lakukan, maka keberulangan bisa terjadi,” jelasnya. (RM.id)

Komentar:
GROUP RAKYAT MERDEKA
sinpo
sinpo
sinpo