BPJS Kesehatan Berpotensi Defisit
Iurannya Jangan Naik Dong…
JAKARTA - Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) memperkirakan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan bakal naik pada Juli 2025.
Hal ini menyusul keluarnya Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 3 Tahun 2023 tentang Perubahan Tarif Standar Pelayanan Kesehatan Dalam Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan.
Permenkes baru ini mengatur standar tarif terbaru, menggantikan standar tarif pelayanan kesehatan lama. Yakni, tarif pelayanan untuk Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) maupun Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut (FKRTL).
Anggota Komisi IX DPR Rahmad Handoyo menuturkan, potensi kenaikan iuran BPJS Kesehatan ini juga mengacu pada hasil analisis DJSN. Bahwa, surplus aset netto BPJS Kesehatan hingga 31 Desember 2023 sebesar Rp 56,5 triliun bisa berbalik negatif pada 2025.
“Defisit ini akan muncul pada Agustus-September 2025 sekitar Rp 11 triliun,” ungkapnya, kemarin.
Handoyo juga mengungkap adanya hitungan pemanfaatan BPJS Kesehatan yang meningkat hingga 2023. Lalu, adanya perluasan kontrak antara BPJS Kesehatan dengan pihak rumah sakit yang semula berjumlah 2.963 pada tahun 2022, menjadi 3.083 pada tahun 2024.
Potensi kenaikan tarif iuran itu belum mempertimbangkan rencana kebijakan implementasi single tarif iuran atau Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) yang menghapus sistem kelas 1, 2, 3 BPJS Kesehatan.
Handoyo berharap, ada terobosan dari DJSN untuk memastikan kenaikan tarif pelayanan kesehatan ini tidak berimbas kepada iuran BJS.
“Potensi minus BPJS ini perlu dipikirkan oleh manajemen dengan melakukan terobosan yang memungkinkan agar terhindar dari defisit yang besar,” harap Handoyo.
Handoyo mengingatkan, fokus utama DJSN saat ini bukan saja soal kenaikan iuran BPJS, juga memprioritaskan peningkatan pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Apalagi, sudah ada keterangan dari Pemerintah, sampai akhir 2024 tidak akan ada kenaikan iuran BPJS.
Jadi, BPJS saat ini bagaimana fokus kepada pelayanan. Bagaimana pelayanan di rumah sakit bisa terus ditingkatkan,” tegas politisi Fraksi PDI Perjuangan ini.
Dia menegaskan, peserta BPJS Kesehatan harus menjadi tuan rumah yang baik. Terhadap rumah sakit yang tidak menaati kerja sama, harus ditertibkan. Tidak ada lagi rumah sakit dengan dalih apa pun menolak pasien untuk berobat.
“Jangan ada lagi pasien pengguna BPJS Kesehatan yang mendapat penolakan perawatan. Memberikan perawatan bagi masyarakat seyogianya sudah menjadi pekerjaan rumah dari Pemerintah yang melayani jalur BPJS,” wantinya.
Handoyo juga mengungkapkan adanya keresahan di masyarakat terkait kuota pasien BPJS Kesehatan di tiap rumah sakit, yang memungkinkan adanya penolakan bagi pasien. Hal tersebut merupakan langkah diskriminatif terhadap pasien yang menggunakan BPJS Kesehatan.
Dia lalu membeberkan catatan Ombudsman yang menemukan, terdapat 700 pengaduan pada 2021-2022 terkait pelayanan Jaminan Kesehatan Nasional atau JKN. Sebagian laporan tersebut adalah soal penolakan terkait kuota pelayanan kesehatan pada peserta BPJS Kesehatan.
“Tidak adanya standardisasi membuat pasien terdiskriminasi. Semestinya tidak boleh ada penolakan pelayanan bagi seluruh warga Indonesia, baik mereka yang mengakses pelayanan menggunakan BPJS, asuransi, maupun mandiri,” jelasnya.
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, lanjutnya, sudah menegaskan bahwa kesehatan merupakan hak bagi masyarakat yang harus dipenuhi pelayanannya oleh negara.
“Karena itu, Pemerintah harus memberi penekanan kepada setiap rumah sakit untuk memberikan layanan terbaik bagi setiap pasien,” tegasnya.
Olahraga | 17 jam yang lalu
Pos Banten | 2 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
Pos Banten | 2 hari yang lalu
Olahraga | 2 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Olahraga | 2 hari yang lalu
Olahraga | 17 jam yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu