Proses Hukum Peserta Pemilu Ditunda
Peluang Caleg Bermasalah Terpilih Semakin Terbuka
JAKARTA - Memorandum Jaksa Agung menunda proses hukum peserta pemilu, dikritik berbagai kalangan. Kebijakan tersebut semakin membuka peluang bagi calon anggota legislatif (caleg) bermasalah terpilih dalam Pemilu 2024.
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadli Ramadhanil mengatakan, perintah Jaksa Agung menunda proses hukum para caleg selama pemilu merupakan keputusan tidak tepat. Kebijakan tersebut juga tidak sesuai dengan konstitusi.
“Proses penegakan hukum dan kontestasi pemilu adalah dua hal yang harus dijalankan sama baiknya, secara profesional, dan tidak saling menegasikan,“ kata Fadli, kemarin.
Anggota Dewan Pembina Perludem Titi Anggraini mengatakan, penundaan kasus hukum peserta pemilu harus diwaspadai dan menjadi perhatian bersama. Hal itu semakin membuka peluang para caleg bermasalah terpilih.
“Jika terpilih dan proses hukum baru berjalan, tentu akan lebih merugikan. Pelayanan kepada masyarakat akan terganggu,” katanya.
Titi mengatakan, jika kandidat caleg tersebut menjabat, mereka berpotensi besar menggunakan kekuasaan untuk mempengaruhi proses penegakan hukum. Akhirnya, terjadi politisasi.
“Justice delayed is justice denied. Bisa saja kasus hukum dipetieskan ketika orang bermasalah secara hukum itu terpilih,” katanya.
Menurut Titi, pilihannya bukan dengan menunda kasus hukum. Tapi, menegakkan penegakan hukum secara transparan, profesional, proporsional dan berkeadilan.
Peneliti Transparency International Indonesia (TII) Sahel Muzzamil menilai, kebijakan Jaksa Agung berpotensi besar menyebabkan akselerasi kenaikan risiko korupsi.
Mereka yang berkontestasi butuh banyak uang untuk terpilih. Sedangkan yang berencana pensiun dari jabatan publik terpilih, butuh banyak uang untuk kehidupan usai menjabat,“ kata Sahel.
Ditambah lagi, katanya, memo tersebut juga berpotensi melanggar Pasal 25 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).
“Kalau komitmen terhadap agenda pemberantasan korupsi, memo Jaksa Agung harusnya memuat perintah sebaliknya,“ tambah Sahel.
Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW), Agus Sunaryanto sangat menyesalkan memorandum yang dikeluarkan Jaksa Agung. Hukum yang seharusnya dijadikan panglima, justru berada di bawah ketiak politik.
Dia mengatakan, jika langkah Jaksa Agung itu dibiarkan, para anggota legislatif ataupun kepala daerah yang bermasalah berpotensi mempengaruhi proses hukum. Bahkan, bisa menghilangkan barang bukti dengan kekuasaan yang mereka miliki.
“Justru saat ini, harusnya dijadikan momentum agar hukum dijadikan saringan utama untuk mengantisipasi calon pejabat publik yang rekam jejaknya buruk, khususnya terindikasi korupsi,“ kata Agus.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Ketut Sumedana menegaskan, instruksi Jaksa Agung tersebut bertujuan untuk menjaga independensi serta netralitas penegakan hukum. Lembaganya tidak ingin dijadikan alat untuk para kontestan dalam pemilu maupun pilkada.
“Kita punya pengalaman panjang terkait pemilu ini. Jangan sampai kita dijadikan alat. Meminjam tangan kita untuk memeriksa orang, atau menakut-nakuti orang, atau membuat black campaign ke orang tertentu,“ kata Ketut.
Tujuan lainnya, sebagai bentuk turut serta Kejaksaan dalam melaksanakan proses demokratisasi dengan tidak membuat kegaduhan politik ketika melakukan proses penegakan hukum.
“Kan bisa saja karena pesanan tertentu, anak-anak buah kita di lapangan menerima laporan, ditindaklanjuti dengan memanggil orang. Nah, ini yang tidak dikehendaki,“ katanya.
TangselCity | 1 hari yang lalu
Olahraga | 23 jam yang lalu
Pos Banten | 1 hari yang lalu
Olahraga | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Olahraga | 1 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu