TangselCity

Pos Tangerang

Pos Banten

Politik

Olahraga

Nasional

Pendidikan

Ekonomi Bisnis

Galeri

Internasional

Selebritis

Lifestyle

Opini

Hukum

Advertorial

Kesehatan

Kriminal

Indeks

Dewan Pers SinPo

Proses Hukum Peserta Pemilu Ditunda

Peluang Caleg Bermasalah Terpilih Semakin Terbuka

Oleh: Farhan
Kamis, 24 Agustus 2023 | 09:50 WIB
Anggota Dewan Pembina Perludem Titi Anggraini. Foto: Ist
Anggota Dewan Pembina Perludem Titi Anggraini. Foto: Ist

JAKARTA - Memorandum Jaksa Agung menunda proses hukum peserta pemilu, dikritik berbagai kalangan. Kebijakan tersebut semakin membuka peluang bagi calon anggota legislatif (caleg) bermasalah terpilih dalam Pemilu 2024.

Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadli Ramadhanil mengatakan, perintah Jaksa Agung menunda proses hukum para caleg selama pemilu merupakan keputusan tidak tepat. Kebijakan tersebut juga tidak sesuai dengan konstitusi.

“Proses penegakan hukum dan kontestasi pemilu adalah dua hal yang harus dijalankan sama baiknya, secara profesional, dan tidak saling menegasikan,“ kata Fadli, kemarin.

Anggota Dewan Pembina Perludem Titi Anggraini mengatakan, penundaan kasus hukum peserta pemilu harus diwaspadai dan menjadi perhatian bersama. Hal itu semakin membuka peluang para caleg bermasalah terpilih.

“Jika terpilih dan proses hukum baru berjalan, tentu akan lebih merugikan. Pelayanan kepada masyarakat akan terganggu,” katanya.

Titi mengatakan, jika kandidat caleg tersebut menjabat, mereka berpotensi besar menggunakan kekuasaan untuk mempengaruhi proses penegakan hukum. Akhirnya, terjadi politisasi.

“Justice delayed is justice denied. Bisa saja kasus hukum dipetieskan ketika orang bermasalah secara hukum itu terpilih,” katanya.

Menurut Titi, pilihannya bukan dengan menunda kasus hukum. Tapi, menegak­kan penegakan hukum secara transparan, profesional, proporsional dan berkea­dilan.

Peneliti Transparency International Indonesia (TII) Sahel Muzzamil menilai, kebijakan Jaksa Agung berpotensi besar menyebabkan akselerasi kenaikan risiko korupsi.

Mereka yang berkontestasi butuh banyak uang untuk terpilih. Sedangkan yang berencana pensiun dari jabatan publik ter­pilih, butuh banyak uang untuk kehidupan usai menjabat,“ kata Sahel.

Ditambah lagi, katanya, memo terse­but juga berpotensi melanggar Pasal 25 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).

“Kalau komitmen terhadap agenda pemberantasan korupsi, memo Jaksa Agung harusnya memuat perintah seba­liknya,“ tambah Sahel.

Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW), Agus Sunaryanto sangat menyesalkan memorandum yang dikeluarkan Jaksa Agung. Hukum yang seharusnya dijadikan panglima, justru berada di bawah ketiak politik.

Dia mengatakan, jika langkah Jaksa Agung itu dibiarkan, para anggota legislatif ataupun kepala daerah yang bermasalah berpotensi mempengaruhi proses hukum. Bahkan, bisa menghilangkan barang bukti dengan kekuasaan yang mereka miliki.

“Justru saat ini, harusnya dijadikan momentum agar hukum dijadikan sar­ingan utama untuk mengantisipasi calon pejabat publik yang rekam jejaknya buruk, khususnya terindikasi korupsi,“ kata Agus.

Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Ketut Sumedana menegaskan, instruksi Jaksa Agung tersebut bertujuan untuk menjaga inde­pendensi serta netralitas penegakan hu­kum. Lembaganya tidak ingin dijadikan alat untuk para kontestan dalam pemilu maupun pilkada.

“Kita punya pengalaman panjang terkait pemilu ini. Jangan sampai kita dijadikan alat. Meminjam tangan kita untuk memeriksa orang, atau mena­kut-nakuti orang, atau membuat black campaign ke orang tertentu,“ kata Ketut.

Tujuan lainnya, sebagai bentuk turut serta Kejaksaan dalam melaksanakan proses demokratisasi dengan tidak mem­buat kegaduhan politik ketika melakukan proses penegakan hukum.

“Kan bisa saja karena pesanan tertentu, anak-anak buah kita di lapangan menerima laporan, ditindaklanjuti dengan memanggil orang. Nah, ini yang tidak dikehendaki,“ katanya.

Komentar:
GROUP RAKYAT MERDEKA
sinpo
sinpo
sinpo