Gara-gara Hembusan Angin Melambat
Langit Jakarta Sempat Biru, Eh Kelabu Lagi...
JAKARTA - Polusi kembali menutupi langit Ibu Kota yang sempat beberapa hari belakangan membiru. Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta didorong menetapkan status bencana agar masalah tersebut ditangani lebih maksimal.
Sub Koordinator Bidang Informasi Pencemaran Udara Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Taryono mengatakan, dalam waktu 24 jam terakhir, kategori udara sedang lebih banyak ketimbang tidak sehat. Data ini berdasarkan pemantauan polutan utama PM 2,5.
“Dari pemantauan konsentrasi PM 2,5 setiap jam nilai konsentrasi 2 hari terakhir lebih banyak kategori sedang ketimbang tidak sehat dalam kurun waktu 24 jam,” tuturnya.
Sebagai informasi, PM 2,5 adalah partikel udara yang berukuran lebih kecil dari 2,5 mikron (mikrometer). Partikel udara ini merupakan polutan utama di Jakarta.
Hal tersebut, lanjut Taryono, terjadi akibat peningkatan kecepatan angin. Angin yang cepat membuat langit Jakarta cerah beberapa hari belakangan, karena polutan menjadi tersebar ke luar Jakarta.
Menurut Taryono, langit Jakarta kembali kelabu karena kecepatan angin melambat.
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta menilai, meski sempat mengalami perbaikan, kualitas udara di Jakarta belum baik. Indeks kualitas udara (AQI) Jakarta masih berada di atas 110. Berada di zona oranye, yang tidak sehat bagi kelompok sensitif.
Anggota DPRD DKI Jakarta August Hamonangan mengusulkan agar DKI menetapkan status bencana. Penetapan status tersebut, menurut August, perlu dilakukan sebagai upaya serius menanggulangi pencemaran udara Jakarta. Apalagi, setiap tahun polusi udara terus berulang di Jakarta tanpa ada program berarti.
“Perlu ada tindakan nyata dari Pemprov DKI Jakarta untuk menjadikan program penanggulangan pencemaran udara sebagai isu prioritas. Jika memungkinkan polusi udara ditetapkan sebagai bencana,” kata August di Jakarta, kemarin.
Anggota Fraksi Partai Solidaritas Indonesia (PSI) ini menilai, polusi udara di Jakarta dapat dikategorikan sebagai ancaman kesehatan yang serius. Apalagi kualitas udara Jakarta kerap menjadi yang terburuk di dunia. Karena itu, polusi udara ini harus dinyatakan sebagai bencana darurat.
Penetapan status bencana, lanjut dia, sudah menjadi kedaruratan karena adanya rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan masyarakat. Dengan penetapan status bencana ini, anggaran untuk penanggulangan pencemaran udara dapat dikeluarkan dari Belanja Tidak Terduga (BTT).
Terlebih, dalam dokumen perubahan Kebijakan Umum Anggaran dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (KUA-PPAS) 2023, anggaran untuk program pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup pada Dinas Lingkungan Hidup DKI mengalami penurunan. Sementara anggaran BTT belum terealisasi penyerapannya.
“Dengan alokasi anggaran Rp 600 miliar sebagaimana yang dianggarkan dalam perubahan KUA-PPAS 2023, akan sangat bermanfaat jika dialokasikan untuk penanggulangan pencemaran udara. Termasuk untuk pengecekan kesehatan masyarakat yang terdampak polusi udara,” jelasnya.
Penjabat (Pj) Gubernur DKI Heru Budi Hartono mengatakan, pihaknya tidak bisa dengan cepat menetapkan polusi udara Jakarta sebagai bencana.
“Karena penetapan perlu konsultasi dulu ke Kementerian Lingkungan, Hidup dan Kehutanan (KLHK), ” kata Heru, Kamis (14/9).
Heru berharap, kualitas udara cepat membaik setelah berbagai upaya yang telah dan terus dilakukan Pemprov DKI Jakarta. Seperti, kebijakan bekerja dari rumah atau Work From Home (WFH) bagi Aparatur Sipil Negara (ASN), uji emisi, hingga mewajibkan gedung tinggi pasang water mist generator.
“Mudah-mudahan langit Jakarta cerah,” harapnya.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) DKI Jakarta Asep Kuswanto mengatakan, penetapan status bencana polusi udara sangat sulit diterapkan. Banyak hal yang harus dipertimbangkan. Terutama dampak dari penetapan status bencana tersebut.
Tidak mudah mengeluarkan status darurat. Karena menyangkut banyak pihak, ada Kedutaan Besar, kantor-kantor dan aktivitas ekonomi,” kata Asep, Kamis (14/9).
Asep menilai, penetapan status bencana akan menimbulkan masalah yang lebih besar. Apalagi Jakarta, yang berstatus pusat pemerintahan dan bisnis nasional. Dia mencontohkan, ketika Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sarimukti, Jawa Barat, kebakaran. Pemprov Jawa Barat sempat menetapkan status tanggap darurat. Dampaknya, kegiatan pemerintahan dan mobilitas masyarakat terganggu.
Karena itu, Asep menyebut status bencana tidak jadi pertimbangan lantaran kondisi udara sudah mulai membaik.
“Alhamdulillah kualitas udara sekarang semakin bagus,” tandasnya.
Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) DKI Jakarta Ani Ruspitawati mengatakan, terjadi lonjakan pasien bergejala ringan yang berobat ke puskesmas. Namun hal ini bukan karena Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) imbas kualitas polusi udara.
“ISPA masih fluktuatif naik turun, trennya memang belum turun tetapi kita lihat itu ada pengaruhnya terhadap awareness masyarakat,” kata Ani, Kamis (14/9).
Ani menyebut, meningkatkan jumlah pasien gejala ringan yang berobat di puskesmas karena kesadaran masyarakat akan kesehatan semakin meningkat.
“Karena kita kampanye terus, kalau ada keluhan datang ke faskes. Dampaknya kunjungan ke puskesmas meningkat,” ujarnya.
Ani mengapresiasi meningkatnya kesadaran masyarakat akan kesehatan. Sebab, dengan pemeriksaan lebih awal dapat mencegah keparahan.
Persentase ISPA terhadap kunjungan secara keseluruhan ya masih normatif, trennya belum turun, tapi nggak naik juga,” ujarnya.
Terkait usulan penetapan status bencana polusi udara, Ani yang juga menjabat sebagai Juru Bicara (Jubir) Satuan Tugas Pengendalian Pencemaran Udara menilai, usulan tersebut perlu dikaji dulu.
“Pasti, semua usulan, semua masukan, kami kaji. Kami nggak menutup terhadap segala masukan, kalau kiranya baik dan punya pengaruh positif, ya,” ucapnya.
Namun ditegaskan dia, untuk menetapkan status darurat bencana tersebut, Pemprov DKI perlu berkoordinasi dengan Pemerintah Pusat, seperti Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, dan KLHK.
“Semua langkah yang diambil DKI nggak sendirian, ini hasil koordinasi dengan nasional,” tandasnya.
Pengamat Perkotaan Jakarta Sugiyanto meminta Pemprov DKI tidak terburu-buru menetapkan polusi udara sebagai bencana. Sebab jika dideklarasikan sebagai bencana, maka kewajiban Pemerintah untuk memberikan bantuan pemenuhan kebutuhan dasar kepada warga yang terkena dampak polusi udara akan menjadi besar.
“Bayangkan jika setiap warga Jakarta mengklaim hak atas bantuan pemenuhan kebutuhan dasar karena merasa terdampak polusi udara, hal ini bisa berdampak serius pada keuangan Pemerintah Provinsi DKI,” kata pria yang akrab disapa SGY itu, kemarin.
Ketentuan penetapan status bencana, lanjut dia, diatur pada Pasal 26 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana. Regulasi ini mencakup berbagai indikator seperti jumlah korban, kerugian harta benda, kerusakan infrastruktur, cakupan wilayah terdampak, dan dampak sosial ekonomi.
Proses penetapan status bencana diatur lebih lanjut dalam Peraturan Presiden Nomor 17 Tahun 2018 Tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana Dalam Keadaan Tertentu. Sementara aspek teknisnya diatur dalam Peraturan Badan Nasional Nomor 5 Tahun 2018 Tentang Kondisi dan Tata Cara Pelaksanaan Penyelenggaraan Bencana.
“Saat ini, lebih baik Pemprov DKI Jakarta fokus pada upaya mengurangi polusi udara dengan mengatasi sumber utama polusi udara di Jakarta. Masyarakat Jakarta juga telah memberikan dukungan penuh dalam mengatasi masalah polusi udara,” tandasnya.
Pos Tangerang | 2 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
TangselCity | 23 jam yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu