Dialektika Debat Calon Presiden
DEBAT pertama dengan tema politik, hukum, demokrasi, etika, dan pemerintahan mendeskripsikan ragam pesan bagi pemilih. Pesan itu menjadi sinyal bagi pemilih untuk menentukan capres terbaik diantara paslon (primus interpares). Andai pemilih punya kesadaran cukup, pesan itu tak hanya dikonsumsi kelompok terdidik yang hanya 6-12 persen, juga sisa dari 204 juta pemilih kebanyakan.
Tentu saja ketiga capres punya titik lebih dan titik kurang. Debat memberi peluang bagi pemilih mengoleksi sebanyak mungkin titik lebih guna mengurangi margin error. Dengan alasan itu pemilih tak hanya menilai kognisi, juga psiko dan afeksi capres sebagai kesatuan integritas. Karenanya, siapapun capres terpilih adalah cerminan dari budaya masyarakatnya.
Pemilih rasional kebanyakan menanti kekayaan kognisi lewat lafadz gagasan yang logis dari tiap etape dialektika. Gagasan dimulai dari pertanyaan. Pertanyaan membuahkan jawaban. Jawaban memproduksi gagasan. Jadi gagasan hanya mungkin bila dimulai dari pertanyaan yang tak hanya cerdas, juga kompatibel dengan realitas masalah (smart argue). Tak heran bila perubahan dimulai dari pertanyaan, bukan jawaban.
Kaum terdidik biasanya tak hanya sampai di situ. Keluasan pengetahuan mesti diperlihatkan lewat keahlian teknis retorika dan pengalaman empirik. Capres tak hanya mampu menampilkan pengetahuan sesuai tema yang disodorkan, juga keterampilan meyakinkan kompetitor, termasuk basis pemilih dari level terdidik hingga mayoritas masyarakat yang selama ini putus sekolah lewat data (speak by data).
Afeksi capres ditunjukkan oleh laku temporer selama debat. Sisi ini seringkali menyentuh penilaian emosional pemilih. Etika, kritik personal, style, gimmick, gemoy, dan semua istilah trending menjadi catatan khusus dalam kalbu pemilih. Afeksi biasanya mengendap pada kelompok masyarakat yang kerap menjaga kesopanan, kesantunan, religi, dan perfeksionisme seorang pemimpin. Pendek kata, penguasaan diri (emotional quality).
Ketiga aspek memiliki basis pemilih masing-masing. Tentu saja ada yang lebih menekankan kognisi, tapi umumnya menginginkan capresnya memenuhi ketiganya. Kekayaan kognisi membantu kita mengetahui kedalaman capres memahami masalah dan jalan keluarnya. Bukan sekedar memaparkan road map lewat tata kata, juga bagaimana action plan tata kotanya.
Psiko diperlukan agar capres terampil menggunakan kuasa seefesien dan seefektif mungkin. Tanpa keterampilan dan pengalaman mengelola pemerintahan kita hanya akan melepas sumber daya tanpa output, outcomes, dan benefit bagi 278 juta penduduk. Tanpa kecerdikan kita mudah diakali bangsa lain lewat komprador yang menyusup lewat usaha negara.
Afeksi capres kita butuhkan agar layak dijadikan panutan. Langkanya suri tauladan menjadikan kepatuhan pada negara semakin rapuh. Salah satu keruntuhan suatu bangsa kata Van Poeltje (1948) hilangnya keteladanan pemimpin. Pemimpin menjadi sentrum gravitasi yang memberi sentimen kuat bagi gerak bersama suatu bangsa. Tanpa itu, kita mungkin kehilangan harapan.
Terlepas dari itu, debat pertama belum menyentuh kedalaman kognisi lewat visi, masih menguji mentalitas capres terhadap masa lalu masing-masing. Artinya, debat ini lebih banyak menguji emotional quality ketimbang mengorek bagian terdalam kognisi. Dengan gambaran itu capres masih lebih banyak perang urat syaraf dibanding mencoba mencecar rencana aksi di masa depan.(*)
*) Penulis adalah Guru Besar pada Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN)
TangselCity | 2 hari yang lalu
Pos Tangerang | 1 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Pendidikan | 2 hari yang lalu
Nasional | 1 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
TangselCity | 17 jam yang lalu
TangselCity | 15 jam yang lalu