Untuk Atasi Banjir Dan Kebutuhan Air Bersih, Jakarta Segera Punya Waduk Raksasa
JAKARTA - Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta didorong untuk membangun waduk raksasa alias memiliki kapasitas besar. Infrastruktur ini diyakini ampuh mengurangi banjir sekaligus mengatasi kekurangan bahan baku air bersih.
Air selalu menjadi masalah di DKI Jakarta. Setiap musim hujan, banyak daerah kebanjiran. Saat kemarau, warga susah mendapatkan air bersih karena kekurangan pasokan.
Pengamat Kebijakan Publik Trubus Rahadiansyah mengatakan, untuk mengatasi masalah air di Jakarta, diperlukan perubahan ekstrem tata kelola air.
“Dulu Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) menyampaikan akan membangun penampungan air (waduk) yang besar. Namun karena situasi politik, tidak terlaksana. Nah ini bagaimana Jakarta punya (penampungan air),” kata Trubus saat Diskusi Setahun PAM Jaya Reborn di Balai Kota DKI Jakarta, Selasa (27/2/2024).
Waduk besar, lanjut Trubus, dapat menampung air saat musim hujan sehingga bisa mengurangi banjir. Air itu bisa dimanfaatkan sebagai bahan baku untuk dikelola sehingga layak konsumsi.
Selain memperbaiki tata kelola sumber air, Trubus meminta, PAM Jaya terus mengupayakan peningkatan layanan air bersih hingga ke sudut kota Jakarta. Penampungan air alias reservoir communal perlu diperbanyak agar hak warga atas air bersih bisa terpenuhi.
Dia juga mendorong edukasi kepada masyarakat untuk menjaga jaringan dan fasilitas perpipaan air bersih.
“Kewajiban untuk menjaga aset-aset itu menjadi tanggung jawab bersama. Artinya masyarakat harus ikut menjaga, ikut merawat, jangan sampai masyarakat yang malah ikut merongrong atau merusak,” ujarnya.
Kepala Sub Perencanaan Air Bersih Dinas Sumber Daya Air (SDA) DKI Jakarta Elisabeth Tarigan mengatakan, sejak Februari 2023, pengelolaan air perpipaan sepenuhnya dipegang Pemerintah melalui Perumda PAM Jaya. Sebelumnya, selama 25 tahun pengelolaan air bersih dipegang dua mitra swasta, yakni PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) dan PT Aetra Air Jakarta.
Setelah mengelola air perpipaan secara mandiri, Dinas SDA berupaya sumber air baku yang digunakan PAM Jaya tidak lagi bergantung dari wilayah lain.
“Ke depannya kita harus bisa mandiri air, di Jakarta. Nggak selamanya kita bisa mengandalkan provinsi sebelah untuk membantu kita, nggak enak juga lama-lama seperti itu,” kata Elisabeth.
Saat ini sumber air baku untuk layanan air bersih oleh PAM Jaya berasal dari Waduk Jatiluhur, Purwakarta dan Tangerang. Karena itu, Elisabeth bilang, harus dilakukan peningkatan indeks ketahanan air.
“Salah satu tugas Dinas SDA adalah membantu meningkatkan ketahanan air melalui pembangunan tampungan-tampungan. Waduk-waduk itu sebenarnya tampungan air, itu kita harapkan bisa menjadi sumber air juga bagi Jakarta,” ujarnya.
Elisabeth menyebut, pihaknya terus membantu PAM Jaya. Baik dari segitu dukungan, perizinan, fasilitasi koordinasi, pengawasan maupun monitoring.
“Karena ini lintas government, dengan Pemerintah pusat dan entitas lain,” ujarnya.
Dia berharap, target PAM Jaya untuk memberikan pelayanan air perpipaan kepada seluruh warga Jakarta dapat tercapai. Menurutnya, hingga kini pelayanan baru berjalan sekitar 65 persen.
“Kami optimistis seluruh wilayah DKI Jakarta bisa mendapatkan pelayanan air bersih dan minum air dari perpipaan dari Pemprov DKI pada tahun 2030,” ujarnya.
Direktur Utama Perumda PAM Jaya, Arief Nasrudin mengatakan, pihaknya bekerja ekstra untuk mengejar target cakupan layanan 100 persen dengan terus meningkatkan pelayanan serta mengurangi angka kehilangan air atau non revenue water (NRW) yang berada di kisaran 45 persen.
Untuk itu, PAM Jaya memulai penggantian pipa baru dari pipa eksisting yang usianya sudah tua agar tak lagi terjadi kebocoran air yang mengalir ke tempat tinggal masyarakat.
“Mau nggak mau pipanya kita perbaiki, kita ganti semua, karena pipanya sudah tua,” kata Arief.
Terdapat enam wilayah prioritas rehabilitasi pipa air bersih yang dikerjakan. Yakni, di Jakarta Timur meliputi Kampung Melayu, Duren Sawit, dan Pulomas. Untuk Jakarta Selatan di Asem Baris. Lalu Jakarta Barat, di Kebon Jeruk dan Abdul Wahab. Saat ini, progres pengerjaan perbaikannya masih berlangsung.
Arief menjelaskan, per April 2023, tingkat kebocoran air pipa di enam daerah ini paling tinggi dibanding daerah lain, dengan angka sekitar 44 persen hingga 93 persen.
Diungkap Arief, peremajaan pipa tidak dapat dilakukan secara serentak di semua wilayah Jakarta. Selain karena membutuhkan biaya besar, proyek pergantian pipa akan menimbulkan kemacetan.
“Kalau semua pipa diganti, investasinya luar biasa besar. Lalu bisa dibayangkan jika kita kerjakan penambahan pipa 7.000 kilometer (km), yang satu 12.000 km kita perbaiki. Itu kayak apa Jakarta chaos-nya?” imbuh Arief.
Arief menyampaikan, PAM Jaya harus membangun sambungan baru perpipaan sepanjang 7.000 km dan menambah jumlah produksi air bersih untuk penambahan cakupan layanan 35 persen.
“PAM Jaya punya target membangun 77.000 sambungan baru tahun 2024 untuk warga Jakarta yang belum terjangkau layanan. Untuk itu kami mohon maaf dan pengertian masyarakat apabila pekerjaan ini menimbulkan kemacetan di beberapa kawasan,” tandas Arief.
Diungkap dia, sejak 2007 Perumda PAM Jaya tidak pernah menaikkan tarif air perpipaan kepada pelanggannya. Tarif air PAM Jaya pun menjadi yang paling murah di wilayah Jabodetabek. Padahal nilai investasi pengelolaan air sebetulnya sangat mahal.
Apalagi PAM Jaya harus melakukan berbagai tahapan mengelola air agar layak digunakan sebagaimana Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 492 tahun 2014 tentang Persyaratan Kualitas Air Minum.
“Investasi air itu mahal, makanya kami concern sekali di tarif. Tarif air di Jakarta ini terlalu murah, bahkan lebih murah daripada tarif air di Bodetabek (Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi),” ucapnya.
Arief bilang, PAM Jaya masih mematok tarif sesuai Pergub Nomor 11 Tahun 2007 tentang Penyesuaian Tarif Otomatis (PTO) Air Minum Semester I Tahun 2007. Sebagai gambaran, kelompok rumah tangga sederhana dikenakan tarif Rp 3.550 per tiga meter kubik atau 3.000 liter.
“Air satu meter kubik atau 1.000 liter itu harganya cuma Rp 3.500, berarti hanya Rp 3,5 per liter,” tandasnya. Sedangkan untuk Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) yang tinggal di rumah susun (rusun) hanya dikenakan Rp 1.050 per tiga meter kubik.
Olahraga | 1 hari yang lalu
Olahraga | 1 hari yang lalu
Pos Banten | 9 jam yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu