Mantan Wakapolri Oegroseno Soroti Kasus Vina Dan Eki, Dari Awal Sudah Banyak Kejanggalan
JAKARTA - Kasus Vina dan Eki Cirebon kembali hot lagi setelah Pegi Setiawan, salah satu tersangka dalam kasus pembunuhan yang terjadi 8 tahun lalu itu, memenangkan gugatan praperadilan di Pengadilan Negeri Bandung. Pegi kini bebas dan sudah kembali ke keluarganya.
Mantan Wakapolri Komjen Pol (Purn) Oegroseno saat menjadi narasumber di Podcast Ngegas Rakyat Merdeka, memberikan catatan kritis terkait hal itu. Dalam podcast yang dipandu editor Rakyat Merdeka, Siswanto itu, Oegroseno menegaskan, evaluasi kebijakan di Polri harus rutin dilakukan.
"Kebijakan itu bukan kitab suci, jadi jangan takut diubah. Pengabdian terbaik itu kan menghargai. Pengabdian terbaik seperti apa, Binmas seperti apa, dan seterusnya," kata pria yang akrab disapa Oegro itu.
Eks Kabarhakam Polri ini mengingatkan, citra Polisi bisa saja tergerus usai kasus kematian Eky dan Vina, dan dikabulkannya praperadilan Pegi. Salah satu cara mengembalikan kepercayaan publik adalah dengan komunikasi.
Oegro usul, setiap perwira di Kepolisian memberikan nomor WhatsApp-nya ke publik. Sehingga, ketika terjadi kejahatan, perwira tersebut bisa langsung dihubungi oleh masyarakat.
"Jadi, ada satu kebijakan bahwa polisi harus hafal nama-nama tetangganya radius berapa ratus meter. Dengan begitu, keluhan mereka bisa segera teratasi," pungkas Oegro.
Terkait kasus tewasnya Eki dan Vina tahun 2016 yang kemudian dikenal sebagai kasus Cirebon, Oegro memberikan pandangannya. Kata dia, sejak awal kasus itu banyak kejanggalan. Di antaranya TKP. Hingga saat ini, tidak ada yang tegas menyebutkan ada berapa TKP.
"TKP hanya satu di jalan raya. Apa mungkin di jalan layang mereka dianiaya, diperkosa di tempat umum. Seperti itu kan analisanya. Pasti masyarakat berhenti ketika melihat kejadian itu," urai Oegro.
Menurutnya, berita acara awal sudah tidak tepat. Sehingga, ketika dilakukan eksaminasi, mau dimulai dari mana. Apakah laporan tanggal 27 Agustus, atau 31 Agustus.
"Saya sebagai mantan Wakapolri melihat banyak pelanggaran dari etika profesi. Jadi, sebaiknya dibentuk tim gabungan pencari fakta. Apakah dari Bareskrim bersama dengan LK UI untuk melihat forensiknya," usul Oegro.
Lanjut ke penangkapan Pegi. Ia memandang, praperadilan Pegi luar biasa, karena di luar kebiasaan. Biasanya, praperadilan itu dilakukan oleh tersangka, keluarga, atau penasihat hukumnya. Tentu berkaitan dengan langkah yang diambil oleh penyidik, dan dirasa menyalahi aturan hukum acara pidana.
Biasanya, berkas perkara juga masih berada di penyidikan, atau penuntutan. Namun, jika sudah berlanjut, biasanya praperadilan tidak ada.
Dalam putusan pengadilan ada tiga DPO. Kemudian setelah 8 tahun muncul di film, dan ramai diperbincangkan masyarakat. Menarikya, Pegi ditangkap, tanpa dilihat identitasnya, lalu diproses di Polda Jabar.
Nah ini ada praperadilan. Makanya ini pernah kajian berkasnya khusus Pegi yang ditangkap oleh Jabar, atau menggunakan berkas perkara yang dulu yang sudah ada tahun 2016-2017," ulas Oegro.
Ia berharap, kasus ini bisa jadi pembelajaran publik. Sehingga bisa masuk dalam rancangan atau amandemen hukum acara pidana tentang hal-hal yang berkaitan dengan praperadilan.
"Jadi praperadilan tidak diartikan sebelum gelar perkara di pengadilan, tapi juga sudah pengadilan masih bisa dilakukan," ujar mantan Kalemdiklat Polri ini.
Sesuai Pasal 77 dan 78 tentang Hukum Acara Pidana yang mengatur praperadilan, salah satu yang bisa diajukan adalah gugatan rehabilitasi dan ganti rugi. Dalam aturan, uang ganti rugi hanya Rp 100 juta.
Oegro usul uang ganti rugi tersebut dinaikkan menjadi Rp 100 miliar. Sehingga, Polri bisa lebih hati-hati ketika menangkap seseorang. Uang ganti ruginya bisa diambil dari gaji penyidik selama dinas.
"Polri juga tidak perlu khawatir melakukan evaluasi atas kinerja personelnya. Kalau perlu dicopot, lakukan saja," ujarnya.
Bagaimana dengan kinerja Kompolnas yang juga mendapat banyak kritikan? Eks Kapolda Sumatera Utara ini menilai, kurang nendangnya kerja Kompolnas dalam melakukan pengawasan tak lepas dari background personelnya. Kata dia, semakin banyak pensiunan polisi masuk Kompolnas, maka pengawasan jadi tidak efektif.
"Yang muncul justru budaya ewuh-pakewuh, karena dari latar belakang yang sama," sindir Oegro.
Ke depan, kata dia, tidak perlu banyak pensiunan polisi yang terlibat dalam Kompolnas. "Cukup 1 atau 2 orang saja. Sisanya bisa dari akademisi atau unsur lain," ujarnya.
TangselCity | 13 jam yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Olahraga | 16 jam yang lalu
Olahraga | 2 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
Pos Banten | 2 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
Pos Tangerang | 2 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu