Wally Wiley, Bule Amerika 45 Tahun Mengabdi Di Papua
PAPUA - Papua, salah satu bagian dunia yang kondisinya masih terbelakang. Indeks Pembangunan Manusia-nya termasuk paling rendah dibanding provinsi lainnya di Indonesia.
Penduduk Papua hidup terpencar, di sejumlah areal pegunungan. Hanya bisa dijangkau melalui udara.
Wally Wiley, yang sudah 45 tahun mengabdi di sana menghitung, ada 350-an landasan di seluruh areal Papua.
Wamena, kata dia, mungkin termasuk wilayah terbesar di dunia yang aksesnya hanya bisa dicapai dengan pesawat. Wally juga bilang, ada 275 bahasa di Papua.
"Itu bahasa ya, bukan dialek,” katanya.
Dia belajar beberapa bahasa Papua, agar bisa memahami masyarakat setempat.
Wally, datang ke Papua pertama kali tahun 1977. Usianya saat itu 28 tahun. Dia pekerja konstruksi dan membuat banyak proyek besar di Hawaii, Amerika Serikat. Banyak uang, tapi merasa jiwanya kosong.
Sebagai insinyur, proyek pertama yang dikerjakan di Jayapura adalah membangun kantor Mission Aviation Fellowship (MAF). Lalu sering ke pedalaman, untuk memberikan konseling, bimbingan masyarakat. Termasuk, mengirim bantuan.
Dia merasa bahagia, saat hidupnya bermanfaat untuk orang lain. Sejak itulah, dia menetap di Indonesia. Tak mau lagi pulang ke tanah kelahirannya di Washington.
Kecintaannya berlanjut. Bersama James Riyadi, Wally mendirikan Yayasan Pendidikan Harapan Papua. Lalu, membangun sekolah dan klinik di pedalaman.
MAF, yang dirintisnya di Papua, kini mengoperasikan 10 armada pesawat jenis Kodiak-100, buatan Amerika. Kapasitas 9 penumpang.
MAF terbang reguler 170-200 kali penerbangan per tahun.
“Kami kirim apa saja. Dari makanan, hewan sampai atap rumah,” kata dia, sambil terkekeh.
Wally adalah Chief Advisor di Mission Aviation Fellowship. Usianya sudah 77 tahun, tapi masih terlihat bugar dan selalu bersemangat.
Permintaan untuk pengiriman logistik ke pedalaman, kata dia, jadwalnya selalu padat. Yang bisa dilayani hanya sekitar 30-an persen dari permintaan.
“Kami susun schedule hari Kamis, untuk pekan depan. Jadi, kalau ada pesanan mendadak, sulit dipenuhi. Kecuali, sifatnya darurat. Misalnya, pasien yang butuh pertolongan," ungkapnya.
Wally merasa, Tuhan telah memanggilnya untuk mengabdi di Papua. Istri dan anak-anaknya pun turut mendukungnya.
Tahun 2019, Wally membuat keputusan besar, dan menjadi warga negara Indonesia. Wally menganggap, perjalanannya ke Papua ditunjukkan Tuhan.
“Tuhan bagi hati kepada saya untuk cinta Indonesia, khususnya Papua,” katanya.
Olahraga | 23 jam yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Nasional | 1 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
Nasional | 1 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu