Kasus Kekerasan Seksual Di Jakarta Naik Drastis
JAKARTA - Kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Jakarta meningkat tajam pada 2024. Dari data itu, yang bikin miris, kasus kekerasan seksual juga mengalami lonjakan.
Data Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) mencatat, pada 2024 terjadi 573 kasus kekerasan di lingkungan pendidikan. Angka ini melonjak lebih dari 100 persen dibandingkan tahun sebelumnya sebanyak 285 kasus.
Dari ratusan kasus tersebut, kekerasan seksual yang paling banyak. Yakni, sebanyak 42 persen. Jika dirinci per wilayah, Jakarta menempati urutan kelima sebagai provinsi dengan kasus kekerasan tertinggi dengan 30 kasus atau 4,9 persen.
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) DKI Jakarta juga mencatat, pada 2024 terjadi peningkatan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, yakni terjadi 2.041 kasus. Angka tersebut meningkat drastis dibandingkan 2023, yakni 1.682 kasus.
Kasus kekerasan mayoritas terjadi di rumah. Yakni, 1.198 atau 58,7 persen. Posisi kedua, di lingkungan sekolah, dengan 180 kasus. Data ini juga mengungkapkan, kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan, terutama pelecehan seksual, mengalami peningkatan. Mirisnya, kasus tersebut terjadi di lingkungan sekolah.
Untuk mencegah dan menangani kasus pelecehan seksual. Dinas Pendidikan (Disdik) DKI Jakarta merumuskan sejumlah langkah strategis yang akan diterapkan di seluruh satuan pendidikan. Langkah ini merupakan bentuk komitmen Disdik DKI Jakarta untuk menciptakan lingkungan belajar yang aman dan nyaman.
Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Disdik DKI Jakarta, Sarjoko membeberkan, langkah pertama, menerapkan kebijakan pencegahan dan penanggulangan kekerasan di seluruh sekolah mengacu pada Peraturan Gubernur Nomor 86 Tahun 2019 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan bagi Peserta Didik di Satuan Pendidikan.
Kedua, program sekolah ramah anak akan dioptimalkan di seluruh satuan pendidikan.
“Program ini mengutamakan pencegahan kekerasan melalui pendidikan karakter, pelatihan guru serta pelibatan orangtua dan masyarakat dalam menciptakan budaya sekolah yang inklusif dan bebas dari kekerasan,” kata Sarjoko, Kamis (16/1/2025).
Ketiga, Disdik DKI Jakarta memperkuat pengawasan dan pelaporan di lingkungan sekolah. Hal ini sesuai arahan melalui Surat Edaran Kepala Dinas Pendidikan Nomor e-0061/SE/2023, yang menekankan pembentukan Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan.
Tim ini, dijelaskan Sarjoko, melibatkan komite sekolah, pengawas pendidikan dan pihak berwenang untuk memantau potensi kekerasan.
“Layanan hotline pelaporan kekerasan juga akan disediakan untuk memastikan penanganan cepat dan aman,” jelasnya.
Langkah keempat, pelatihan guru dan tenaga kependidikan untuk memahami pendekatan non-kekerasan dalam mendisiplinkan siswa. Pelatihan ini mencakup keterampilan menangani konflik dan membangun komunikasi yang efektif dengan siswa.
Kelima, Disdik mendorong kerja sama dengan lembaga swadaya masyarakat (LSM), organisasi kepemudaan dan komunitas pendidikan untuk mengadakan kampanye anti-kekerasan.
“Seminar yang menanamkan nilai toleransi dan empati akan diperbanyak untuk mendukung budaya anti-kekerasan di sekolah,” ujarnya.
Dia menegaskan, langkah-langkah strategis ini dirancang sebagai respons terhadap banyak kasus serupa sebelumnya. Langkah ini diharapkan dapat memastikan sekolah menjadi tempat yang aman bagi siswa, guru dan seluruh pemangku kepentingan.
“Dinas Pendidikan berkomitmen mewujudkan lingkungan pendidikan yang bebas dari kekerasan,” janji Sarjoko.
Perbanyak CCTV
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta Abdul Aziz mendorong Disdik memperbanyak pemasangan kamera pengawas atau Closed Circuit Television (CCTV) di lingkungan sekolah. Tujuannya, untuk mencegah kasus perundungan dan pelecehan seksual.
Disarankannya, pemasangan CCTV di setiap sudut, sehingga bisa mendeteksi potensi tindak kekerasan atau pelecehan seksual.
Namun, diingatkan dia, pemasangan CCTV tersebut memerlukan petugas pemantau selama 24 jam.
Selain itu, Anggota Komisi E ini meminta Disdik membuat Standard Operating Procedure (SOP) penanganan kasus perundungan dan pelecehan seksual. Yakni, pemberian sanksi tegas kepada pelaku, sehingga dapat menimbulkan efek jera.
Selama ini, Abdul Aziz menilai, penanganan kasus perundungan dan pelecehan seksual tidak tegas.
“Korban harus dilindungi dan mendapat pendampingan advokasi hukum secara pasti,” kata Abdul Aziz.
Olahraga | 2 hari yang lalu
TangselCity | 19 jam yang lalu
Pos Banten | 1 hari yang lalu
Olahraga | 2 hari yang lalu
Olahraga | 9 jam yang lalu
Pos Banten | 8 jam yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Olahraga | 10 jam yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
Olahraga | 1 hari yang lalu