Menkeu Resah AS Patok Tarif mpor 32%, Pertumbuhan Ekonomi Akan Terganggu

JAKARTA - Menteri Keuangan Sri Mulyani cemas dengan kebijakan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump yang tetap mematok tarif impor 32 persen untuk produk Indonesia. Dia khawatir, hal itu bakal berdampak serius dan bisa memengaruhi pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Kekhawatiran itu, disampaikan Sri Mulyani saat Rapat Kerja dengan Komite IV DPD, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (9/7/2025). Dalam rapat tersebut, Sri Mulyani ditanya Ketua Komite IV DPD Ahmad Nawardi soal tarif resiprokal Trump.
"Dampaknya terutama pada growth (pertumbuhan ekonomi)," jawab Sri Mulyani.
Sebelumnya, Pemerintah telah menetapkan target pertumbuhan ekonomi dalam Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) 2026 di rentang 5,2-5,8 persen. Dengan adanya tarif 32 persen dari Trump, proyeksi tersebut bisa saja berubah.
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) akan terus memantau perkembangan situasi ini untuk mengkalibrasi pertumbuhan ekonomi yang akan dimasukkan dalam RAPBN 2026. "Untuk growth itu, kita range-nya cukup lebar 5,2-5,8 persen. Jadi, kami akan lihat," tambah Sri Mulyani.
Dia melanjutkan, bukan cuma Indonesia yang terkena getah kebijakan Trump, tetapi juga dunia. Akibat kebijakan tersebut, Dana Moneter Internasional (IMF) pun memperkirakan ekonomi global hanya tumbuh 2,8 persen pada 2025 dan 3 persen pada 2026. Sementara, Bank Dunia memproyeksikan 2,3 persen di 2025 dan 2,4 persen di 2026.
Sri Mulyani menambahkan, pemerintah terus berusaha agar tarif impor Trump itu bisa diturunkan secara signifikan. Saat ini, Menteri Perekonomian Airlangga Hartarto tengah berada di AS untuk melanjutkan negosiasi. Indonesia beserta 11 negara lain memiliki tenggat waktu hingga 1 Agustus 2025.
"Pak Menko sekarang sedang di AS. Beberapa langkah-langkah yang selama ini sudah dikomunikasikan dan dikoordinasikan juga dengan pemerintah AS, akan terus kita bahas," tuturnya.
Negosiasi lanjutan ini di antaranya akan membahas kekhawatiran AS mengenai tarif dan hambatan nontarif di Indonesia, dan keinginan agar Indonesia investasi di negeri Paman Sam. Saat ini, Pemerintah terus meracik strategi untuk memberikan tawaran tambahan.
"Diharapkan tetap pada awal Agustus kita bisa dapatkan term yang lebih baik," kata mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu.
Juru Bicara Kemenko Perekonomian Haryo Limanseto menyebut, Indonesia memiliki strategi agar negosiasi dapat disepakati. Apalagi, Indonesia merupakan mitra strategis dalam perdagangan dengan sumber daya alam yang dimiliki.
Dengan kekayaan Indonesia, diharapkan Trump dapat mempertimbangkan kembali posisi Indonesia yang selama ini telah memenuhi permintaan AS. Terlebih, defisit perdagangan yang sudah teratasi. Indonesia telah siap memborong komoditas dari AS, seperti gandum dan energi. Perjanjian pembelian produk-produk AS ini diteken sektor swasta sebagai tawaran utama kepada Washington agar tarif resiprokal bisa diturunkan.
Semua transaksi yang bisa dilaksanakan sebelum pengumuman menjadi sweetener. Disampaikan bahwa defisit itu sudah (teratasi), malah melebihi dari defisit yang disampaikan Amerika Serikat," kata Haryo.
Sejumlah perusahaan besar Indonesia sudah menandatangani nota kesepahaman (MoU) dengan perusahaan AS. Di antaranya PT Pertamina yang akan mengimpor energi, dan FKS Group serta PT Sorini Agro Asia Korindo yang akan mengimpor jagung. Ada Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) untuk impor kapas, dan Asosiasi Produsen Tepung Indonesia untuk impor gandum dari AS.
Haryo tidak ingin berandai-andai terkait pengaruh kesepakatan ini terhadap tarif Trump. Dia hanya memastikan, Pemerintah terus melanjutkan perundingan, dan menegaskan posisi Indonesia sebagai mitra dagang strategis di kancah internasional.
Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi meminta doa agar tim negosiasi yang dipimpin Airlangga bisa mendapatkan hasil maksimal. Prasetyo juga menyinggung potensi tambahan tarif 10 persen imbas Indonesia bergabung dengan BRICS.
"Kami merasa itu bagian dari keputusan kita bergabung dengan BRICS, yang kemudian ada konsekuensi. Mau tidak mau, harus kita hadapi," tegasnya.
Sementara, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menyarankan Pemerintah tidak menuruti semua permintaan Trump. Khususnya soal investasi di AS.
Menurutnya, membangun pabrik di AS justru bertentangan dengan semangat industrialisasi Pemerintah. Mengingat, Indonesia butuh lebih banyak sektor padat karya.
"Kalau swastanya disuruh investasi industri manufaktur ke Amerika, sudah mahal biaya operasionalnya, investasinya mahal, regulasinya ketat. Selain itu, dampak berganda pada ekonomi Indonesia terbatas," ulas Bhima, saat dihubungi tangselpos.id Rabu malam (9/7/2025).
Lagipula, kata dia, belum tentu Indonesia dapat pengurangan tarif setelah berinvestasi dan membangun pabrik di AS. Sebab, alasan awal Trump mematok tarif untuk Indonesia untuk menyeimbangkan neraca perdagangannya.
"Sekarang kok jadi investasi. Jangan semua keinginan Trump dituruti juga. Kita sudah Rp 250-an triliun komitmen untuk melakukan importasi energi dari Amerika, itu masih dikenakan tarif resiprokal 32 persen," pungkasnya.
Olahraga | 1 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Opini | 2 hari yang lalu
Nasional | 1 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
Galeri | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Pos Banten | 2 hari yang lalu
Pos Tangerang | 2 hari yang lalu