Dari Kasus Beras Oplosan, Negara Rugi 99 T Per Tahun

JAKARTA - Kasus beras oplosan yang diduga sudah dilakukan bertahun-tahun ini, membuat negara rugi Rp 99 triliun per tahunnya.
Fakta ini diungkap Menteri Pertanian Amran Sulaiman saat rapat kerja dengan Komisi IV DPR, di Komplek Parlemen, Jakarta, Rabu (16/7/2025). Menurut Amran, kerugian Rp 99 triliun per tahun itu, berasal dari selisih harga antara beras curah yang dipasarkan seolah beras premium.
"Kalau terjadi 5 sampai 10 tahun angkanya pasti di atas Rp 100 triliun," kata Amran yang hadir bersama Wamentan Surdaryono ini.
Amran memaparkan, terungkapnya kasus beras oplosan ini, merupakan hasil investigasi pihaknya dan Satgas Pangan Polri. Investigasi berlangsung 6-23 Juni 2025. Hasilnya ditemukan, 85,56 persen beras premium tak sesuai mutu, 59,78 persen tak sesuai Harga Eceran Tertinggi (HET), dan 21,66 persen isinya kurang dari yang ditulis.
20 persen masuk etalase, 80 persen dioplos jadi premium," ungkap Amran.
Amran menjelaskan, ada dua jenis kerugian besar dari kasus ini. Rugi Negara, karena stok beras murah disedot mafia, dijual dengan harga tinggi. Kedua, rugi Rakyat yang merasa beli premium, ternyata cuma kemasannya aja.
"Kayak beli emas 18 karat, tapi dikasih 24 karat bohongan. Untungnya mereka, buntungnya rakyat," sindir Amran pedas.
Mendengar paparan Amran, wakil rakyat langsung geram. Ketua Komisi IV DPR Siti Hediati Soeharto mendesak Pemerintah tegas dengan memberikan efek jera bagi pelaku pengoplos beras.
Kalau memang ada yang nakal-nakal itu, usut tuntas, kasih efek jera. Baik pelaku besar atau yang kecil," pinta Titiek Soeharto, sapaan karibnya.
Politisi Gerindra ini, mewanti-wanti agar kasus serupa tidak terulang lagi. Apalagi Pemerintah Presiden Prabowo Subianto lagi fokus swasembada pangan. "Kita lagi semangat-semangatnya urusan swasembada pangan, beras. Ini merugikan," tegasnya.
Titiek juga meminta para Menteri Koordinator (menko) tak berpangku tangan. Dia ingin ada koordinasi solid antarkementerian agar penanganan kasus ini, tak simpang siur dan membingungkan.
"Itu kan ada Menkonya. Tolong turun tangan, jangan diam-diam saja. Jangan sedikit-sedikit heboh ini, itu, rakyat jadi bingung," ujarnya.
Kecaman juga datang dari anggota Komisi IV DPR Daniel Johan. Dia mendesak Pemerintah mengumumkan semua merek beras dan perusahaan pengoplos. Kasus ini, kata dia, harus diusut tuntas dan tidak berlarut-larut.
"Jadi masyarakat kembali percaya pada produk-produk pangan, pada produsen, dan Pemerintah," pesannya.
Selain penegakan hukum yang tegas, Daniel ingin kasus ini jadi momentum reformasi tata niaga pangan. "Jangan-jangan baru beras yang ketahuan. Kemarin sudah minyak goreng dan BBM," tuturnya.
Anggota Komisi IV DPR RI Cindy Monica mengingatkan, negara wajib memberi perlindungan kepada rakyat. Kasus beras oplosan ini, bukan hanya kecurangan tata niaga, tapi kejahatan sistemik oleh pelaksana industri pangan.
"Negara wajib menjamin mutu, kualitas, dan nutrisi dari setiap pangan yang dimakan oleh rakyat. Usut tuntas!" dukungnya.
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Solihin menegaskan, perusahaan ritel modern tak memproduksi beras sendiri. Seluruh produk yang dijual di ritel diperoleh melalui skema pembelian langsung dari produsen, dengan kontrak yang mencantumkan spesifikasi beras kategori premium.
"Kami membeli sesuai kontrak, isinya kami serahkan sepenuhnya kepada produsen," kata Solihin dalam keterangannya, Rabu (16/7/2025).
Ritel, sambungnya, tak punya kewenangan maupun kapasitas untuk memverifikasi langsung isi kemasan. Dia memastikan, seluruh anggota ritel Aprindo membeli beras sesuai dengan ketentuan harga dan mutu sebagaimana tercantum dalam kontrak dengan produsen.
"Masyarakat harus jeli," ujarnya.
Sedangkan Ketua Umum Perkumpulan Penggilingan Padi dan Pengusaha Beras Indonesia (Perpadi) Sutarto Alimoeso berdalih, pengoplosan kadang dilakukan oknum pengusaha penggilingan. Dia juga mengklaim, pemain dalam tata niaga beras amat banyak.
"Saya mendukung pelaku pengoplosan ditindak tegas," ujarnya.
Pengamat pertanian Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Eliza Mardian menilai mencuatnya kasus ini menunjukkan lemahnya pengawasan dan penegakan regulasi mutu pangan. Imbasnya, konsumen dirugikan dua kali. Membayar lebih mahal untuk kualitas rendah.
"Artinya pasar kita sedang tidak baik-baik saja," kata dia dalam keterangannya, kemarin.
Eliza menegaskan pentingnya sanksi tegas. Dari mulai izin usaha, denda progresif atau pelaporan publik terhadap merek-merek yang terbukti melanggar.
"Perlu efek jera. Jika pelanggaran dibiarkan, pasar akan terus beroperasi dalam ketidakadilan. Pelaku terus untung, konsumen buntung, petani tetap dihilirkan," tegasnya.
Sebelumnya, Satgas Pangan Polri telah memerika 22 saksi dalam dugaan kasus ketidaksesuaian mutu produk beras. Terdiri dari enam perusahaan dan delapan merek beras kemasan lima kilogram.
"Satgas Pangan Polri akan melanjutkan pemeriksaan terhadap 25 pemilik merek beras kemasan lima kilogram lainnya," Kepala Satgas Pangan Polri Brigadir Jenderal Helfi Assegaf, dua hari lalu.
TangselCity | 1 hari yang lalu
Pos Banten | 2 hari yang lalu
Galeri | 2 hari yang lalu
Pos Banten | 1 hari yang lalu
Pos Banten | 18 jam yang lalu
Nasional | 1 hari yang lalu
Nasional | 1 hari yang lalu
Pos Banten | 1 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
Politik | 18 jam yang lalu