BPOM Harus Tanggung Jawab
JAKARTA - Tiga zat kimia berbahaya: Etilen Glikol (EG), Dietilen Glikol (DEG), dan Etilen Glikol Butil Eter (EGBE) diduga menjadi penyebab utama kasus gangguan ginjal akut pada anak yang terjadi di 20 provinsi dengan kematian mencapai 99 kasus.
Yang menjadi pertanyaan, kenapa zat berbahaya tersebut bisa masuk dalam obat dalam bentuk sirup dan beredar di Indonesia. Soal ini, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) harus tanggung jawab.
Hasil penelitian yang dilakukan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menunjukkan, balita yang terkena gagal ginjal akut ini terdeteksi memiliki tiga zat kimia berbahaya yaitu EG, DEG, EGBE.
Beberapa jenis obat sirup yang digunakan pasien balita yang terkena gangguan ginjal akut terbukti memiliki EG, DEG, EGBE, yang seharusnya tidak ada/sangat sedikit kadarnya di obat-obatan tersebut.
Menanggapi kasus ini, Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Agus Suyatno menilai, BPOM ambigu menanggapi kasus ini. Ia pun menyayangkan BPOM terlambat mendeteksi keberadaan zat beracun dalam obat sehingga menelan korban.
Selain itu, BPOM pun tak tegas dengan hanya merilis sejumlah obat yang mengandung EG dan mengimbau masyarakat tidak mengonsumsinya.
"Mestinya Badan POM juga melakukan mandatory recalling (menarik) obat yang terbukti dari penelitian beredar pasaran," kata Agus, saat dikontak, tadi malam.
Agus meminta BPOM bergerak cepat dan sinergis dalam menangani kasus ini demi memberikan perlindungan yang menyeluruh pada masyarakat, khususnya anak-anak. Jangan sampai korban terus berjatuhan dan eskalatif.
Kritikan lebih pedas disampaikan Anggota Komisi IX DPR Lucy Kurniasari. Menurut politisi Partai Demokrat ini, kasus gagal ginjal pada anak seharusnya tak perlu terjadi bila BPOM bekerja secara baik dan benar.
Sebab, salah satu fungsi BPOM melaksanakan pengawasan obat dan makanan sebelum dan selama beredar.
Menurut dia, kasus ini menunjukkan fungsi BPOM dalam melakukan pengawasan obat tidak berjalan.
"BPOM harus bertanggung jawab atas terjadi kasus obat sirup paracetamol yang berdampak pada kasus gagal ginjal pada anak-anak," kata Lucy, dalam keterangannya, kemarin
Bagaimana tanggapan BPOM? Tadi malam, badan yang dinahkodai Penny Lukito ini mengeluarkan keterangan melalui akun Instagram resminya.
Pers rilis hanya bisa dilihat di Instagram, karena situs resminya down seharian kemarin. Nomor kontak Kepala BPOM Penny Lukito pun bisa dihubungi.
Dalam pernyataannya, BPOM memerintahkan penarikan dan pemusnahan lima sirup obat yang memiliki kandungan EG dan DEG melebihi ambang batas aman.
BPOM menyebut, sirup obat yang diduga mengandung cemaran EG dan DEG kemungkinan berasal dari empat bahan tambahan yaitu propilen glikol, polietilen glikol, sorbitol, dan gliserin/gliserol.
"Keempat bahan tersebut bukan merupakan bahan yang berbahaya atau dilarang digunakan dalam pembuatan sirup obat," tulis BPOM.
Sesuai Farmakope dan standar baku nasional yang diakui, ambang batas aman atau Tolerable Daily Intake (TDI) untuk cemaran EG dan DEG sebesar 0,5 mg/kg berat badan per hari.
Namun demikian, menurut BPOM, hasil uji cemaran EG tersebut belum dapat mendukung kesimpulan bahwa penggunaan sirup obat tersebut memiliki keterkaitan dengan kejadian gagal ginjal akut.
Karena selain penggunaan obat, masih ada beberapa faktor risiko penyebab kejadian gagal ginjal akut seperti infeksi virus, bakteri Leptospira, dan multisystem inflammatory syndrome in children (MIS-C) atau sindrom peradangan multisistem pasca Covid-19.
Terakhir, BPOM telah memerintahkan kepada semua industri farmasi yang memiliki sirup obat yang berpotensi mengandung cemaran EG dan DEG untuk melaporkan hasil pengujian mandiri sebagai bentuk tanggung jawab pelaku usaha.
"Industri farmasi juga dapat melakukan upaya lain seperti mengganti formula obat dan/atau bahan baku jika diperlukan," demikian pernyataan BPOM.
Wakil Ketua Komisi Informasi Pusat Arya Sandhiyudha mengapresiasi rilis BPOM terhadap lima obat sirup dengan kandungan EG sebagai implementasi kewajiban badan publik untuk menyampaikan informasi serta-merta.
Namun, menurut Arya, BPOM perlu menjelaskan keterangan lebih lengkap dan berkala, bagaimana dengan obat lainnya yang sebelumnya disebutkan ada 15.
"Berarti, terhadap 10 obat lainnya seperti apa, perlu dijelaskan sebab sudah tersebar di masyarakat," kata Arya, dalam keterangan tertulis, kemarin.
Arya juga meminta BPOM terus meng-update terkait dengan informasi mengenai ginjal akut pada balita dan anak-anak. Arya menyebutkan, informasi serta-merta tersebut akan berguna untuk daya antisipasi dan tangkal masyarakat terhadap penyakit, baik jenis obat atau apa yg harus diantisipasi oleh masyarakat atau obat alternatif.
"Jenis obat apa saja, agar bisa dihindari, mengingat banyak beredar di masyarakat nama/merek obatnya. Sehingga harus diberikan kepastian agar tidak menimbulkan kepanikan," tuntasnya.
Nasional | 2 hari yang lalu
Pos Tangerang | 2 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
Olahraga | 2 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
Pos Tangerang | 1 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
Nasional | 1 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu