TangselCity

Pos Tangerang

Pos Banten

Politik

Olahraga

Nasional

Pendidikan

Ekonomi Bisnis

Galeri

Internasional

Selebritis

Lifestyle

Opini

Hukum

Advertorial

Kesehatan

Kriminal

Indeks

Dewan Pers SinPo

OJK Patok Industri BPR Tahan Banting

Oleh: Farhan
Rabu, 22 Mei 2024 | 12:52 WIB
Foto : Ist
Foto : Ist

JAKARTA - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mendorong Bank Perekonomian Rakyat (BPR) dan BPR Syariah (BPRS) agar fokus memperkuat permodalan dan memperbaiki tata kelola perusahaan. Sehingga ke depan, tetap efektif dan tahan banting dalam menghadapi segala risiko.
Untuk mengakomodir hal tersebut, OJK meluncurkan peta jalan (roadmap) BPR/BPRS. Sebab, industri BPR dan BPRS akan selalu dihadapkan pada tantangan, baik itu yang berasal dari luar maupun dalam negeri. Atau bahkan tantangan struktural, yang bersumber dari internal BPR dan BPRS.
Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar menjelaskan, adopsi teknologi informasi di bidang keuangan yang semakin masif, telah berdampak pada pe­rubahan perilaku, ekspektasi dan kebutuhan masyarakat terhadap layanan keuangan dari bank, termasuk BPR dan BPRS.
Selain itu, sambung Mahen­dra, BPR dan BPRS juga meng­hadapi persaingan yang semakin ketat, khususnya pada penyaluran kredit atau pembiayaan kepada segmen mikro dan kecil.

“Yang diikuti dengan po­tensi peningkatan risiko kredit atau pembiayaan,” ujar Ma­hendra dalam acara Launch­ing Roadmap Pengembangan dan Penguatan Industri BPR-BPRS (RP2B) 2024-2027 di Jakarta, Senin (20/5/2024).
Sekadar informasi, berlaku­nya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengem­bangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK), BPR dan BPRS memperoleh ruang yang lebih luas untuk berkembang melalui penguatan kelembagaan, serta perluasan kegiatan usaha dan aktivitas BPR dan BPRS.

Meluasnya kegiatan usaha dan aktivitas BPR dan BPRS tidak luput dari berbagai risiko yang mengintai.
Untuk itu, BPR dan BPRS di­harapkan memiliki struktur yang lebih kuat untuk mampu menyerap potensi risiko tersebut.

“Sehingga dapat memanfaatkan kesempatan dari Undang-Undang P2SK agar lebih berkembang,” tegas mantan Wakil Menteri Keuangan ini.
Mahendra menekankan, pentingnya memperkuat permodalan, melaksanakan konsolidasi dan memperbaiki tata kelola. Bah­kan, OJK juga mendukung BPR dan BPRS memperluas akses pemodalan melalui penawaran umum pasar modal atau Initial Public Offering (IPO).
Pada kesempatan yang sama, Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae membeberkan kondisi BPR dan BPRS saat ini.
Total aset perusahaan BPR dan BPRS per Maret 2024 men­capai Rp 216,73 triliun atau tum­buh sebesar 7,34 persen secara tahunan (year on year/yoy).

Dari sisi penyaluran kredit naik 9,42 persen yoy menjadi Rp 161,90 triliun. Penghimpunan Dana Pihak Ketiga (DPK) juga mengalami pertumbuhan sebe­sar 8,60 persen yoy menjadi Rp 158,8 triliun.
Artinya, lanjut Dian, industri BPR dan BPRS masih terjaga dengan baik. Hingga bulan ke­tiga tahun ini, jumlah BPR dan BPRS masing-masing sebesar 1.392 BPR dan 174 BPRS.
“Kami mencatat, jika ada pengurangan jumlah BPR, justru semakin meningkatkan kontribusi BPR dan BPRS, karena ada sisi penguatan permodalan,” jelasnya.
Lebih jauh Dian merinci, setidaknya ada tiga tantangan struktural utama yang dihadapi BPR dan BPRS saat ini. Per­tama, permodalan dan disparitas skala usaha. Jumlah BPR dan BPRS yang banyak dan sebagian besar didominasi oleh BPR dan BPRS dengan skala usaha kecil.

BPR dan BPRS juga masih dihadapkan dengan kewajiban pemenuhan modal inti minimum Rp 6 miliar pada akhir Desember 2024 bagi BPR dan akhir De­sember 2025 bagi BPRS.
Kedua, adalah tantangan mengenai tata kelola dan manaje­men risiko. Kualitas dan kuan­titas pengurus serta Sumber Daya Manusia (SDM) industri BPR dan BPRS masih perlu dioptimalkan.
“Untuk meningkatkan kinerja industri BPR dan BPRS, dibu­tuhkan penerapan tata kelola yang baik dan manajemen risiko yang efektif,” ujarnya.
Tantangan ketiga, sambung Dian, adalah persaingan usaha. Karena pada kenyataannya, BPR dan BPRS masih menghadapi persaingan yang semakin ketat dengan lembaga keuangan lain, khususnya untuk segmen Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) dari hulu sampai hilir.
“Apalagi dengan masifnya perkembangan teknologi infor­masi atau digital yang mendo­rong inovasi produk dan layanan keuangan,” ungkapnya.

Untuk itu, lanjut Dian, dalam menjawab tantangan tersebut, enam bank umum serta per­wakilan asosiasi BPR dan BPRS melakukan penadatanganan komitmen sebagai salah satu ben­tuk sinergi dan kolaborasi, dalam mendukung pengembangan SDM industri BPR dan BPRS.

Para pihak yang terlibat dalam komitmen tersebut adalah BTN, BRI, BNI, Bank Mandiri, BCA, dan BSI, serta Perhimpunan BPR Indonesia (Perbarindo), Perhim­punan BPR/S Milik Pemerintah Daerah Se-Indonesia (Perba­mida) dan Asosiasi Bank Syariah Indonesia (Asbisindo).
“Dengan memperhatikan tan­tangan yang dihadapi industri BPR dan BPRS, serta reformasi pengaturan dan kebijakan di sektor keuangan, OJK juga me­luncurkan roadmap,” katanya.
Diketahui, Roadmap Pengem­bangan dan Penguatan Industri BPR dan BPRS 2024-2027 merupakan landasan kebijakan untuk memperkuat, serta mengembangkan industri BPR dan BPRS. Sekaligus menjawab tantangan industri BPR dan BPRS di masa mendatang.
Menyoal ini, Direktur Ekseku­tif Segara Research Institute Pi­ter Abdullah mengamini, adanya UU P2SK, mendorong BPR dan BPRS semakin leluasa mening­katkan permodalan melalui IPO. Sebab, permodalan masih men­jadi salah satu masalah utama di BPR dan BPRS saat ini. Apalagi ada kewajiban modal inti yang telat ditetapkan OJK.

“IPO jadi salah satu cara untuk meningkatkan permodalan agar bisa bersaing,” terang Piter ke­pada Redaksi kemarin.
Menurut Piter, kehadiran BPR dan BPRS juga semakin berat karena harus menghadapi persaingan ketat dengan kehadiran fin­tech (financial technology).

Untuk mengembangkan layanan digital, BPR dan BPRS harus memiliki modal yang cukup. Karena itu, banyak yang memutuskan untuk berkolaborasi dengan bank umum.
Piter mengingatkan, IPO BPR dan BPRS harus dilakukan se­cara lebih ketat mengingat adanya dana publik yang dikelola.
Selain itu, pertimbangan efisiensi dan kemampuan penga­wasan juga mesti terus diting­katkan oleh regulator.

Menurut dia, dibutuhkan sebuah aturan main yang menempatkan posisi masing-ma­sing bank dalam menjalankan fungsi intermediasinya, seperti roadmap yang baru saja dike­luarkan OJK.
“Aturan tersebut akan membuat industri BPR dan BPRS berdaya tahan dan dapat berkem­bang,” ujarnya. 

Komentar:
GROUP RAKYAT MERDEKA
sinpo
sinpo
sinpo