TangselCity

Pos Tangerang

Pos Banten

Politik

Olahraga

Nasional

Pendidikan

Ekonomi Bisnis

Galeri

Internasional

Selebritis

Lifestyle

Opini

Hukum

Advertorial

Kesehatan

Kriminal

Indeks

Dewan Pers SinPo

Dari 1.553 Calon Kepala Daerah Yang Ikut Pilkada, 64 Berstatus Mantan Terpidana

Oleh: Farhan
Minggu, 06 Oktober 2024 | 10:09 WIB
Foto : Ist
Foto : Ist

JAKARTA - Warga dunia maya dihebohkan dengan track record calon kepala daerah (Cakada) di Pilkada serentak 2024. Dari 1.553 pasangan calon yang bertarung, ternyata ada 64 Cakada yang berstatus mantan narapidana. Meskipun dibolehkan oleh undang-undang, warganet tetap waswas.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI telah menetapkan, Pilkada 2024 yang berlangsung di bulan November ini di diselenggarakan di 37 provinsi, 415 kabupaten, dan 93 kota. Total peserta yang dinyatakan lolos sebesar 1.553 pasangan calon atau 3.106 orang.

Dari jumlah itu, 103 di antaranya merupakan pasangan calon gubernur-wakil gubernur, 284 pasangan wali kota dan wakilnya, sedangkan 1.166 sisanya merupakan pasangan calon bupati dan wakilnya

Dari 1.553 pasangan calon kepala daerah tersebut, 1.500 di antaranya merupakan jagoan yang diusung oleh partai politik. Sedangkan 53 sisanya, merupakan Paslon yang maju lewat jalur independen atau perseorangan.

Data semua Paslon yang bertarung di Pilkada 2024 ditampilkan KPK pada situs infopemilu.kpu.go.id/Pemilihan/Pasangan_calon. Lewat situs ini, publik bisa mengakses data-data dari Paslon yang bertarung, termasuk latar belakang atau status hukum yang pernah disandangnya.

Nah, profil dari setiap Cakada berada dibagian profil calon yang berisi riwayat pendidikan, organisasi, tanda penghargaan, hingga hukum. Menariknya, setelah dilihat dari riwayat hukum 3.106 orang yang menjadi kontestan Pilkada, 64 di antaranya berstatus mantan napi.

Dari total tersebut, sebanyak 17 calon bupati yang berstatus mantan napi. Lalu 19 calon wakil bupati, 10 calon wali kota, 6 calon wakil wali kota, dan 2 calon gubernur.

Dari daftar di atas, terdapat dua nama yang secara khusus tercatat sebagai mantan terpidana kasus pidana politik. Kedua nama tersebut adalah Jaya Samaya Monong (Calon Bupati Kabupaten Gunung Mas, Kalimatan Tengah) dan Ahmadi Zubir (Calon Wali Kota Sungai Penuh, Jambi).

Sebelumnya, syarat calon kepala daerah adalah tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Namun berdasarkan UU No 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Perppu No 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, ada keterangan tambahan mengenai persyaratan maju calon kepala daerah bagi mantan narapidana.

Syaratnya adalah sudah mengumumkan kepada masyarakat luas bahwa yang bersangkutan pernah menjadi terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum.

Apa tanggapan parpol? Deputi Bappilu DPP Demokrat, Kamhar Lakumani enggan mempermasalahkan status mereka. Kamhar bilang, mereka telah menjalani proses hukum sesuai regulasi yang ada.

Menurutnya, secara normatif, bagi para mantan napi yang telah melewati tenggang waktu tertentu, selama hak politiknya tidak dicabut, tentu saja memiliki kesempatan yang sama untuk maju sebagai Cakada.

“Dia pun berhak memilih dan dipilih,” kata Kamhar kepada Redaksi.

Menyoal statusnya, Demokrat mengembalikan kepada rakyat. Sebab, rakyat yang memiliki kedaulatan tertinggi untuk memilih atau tidak 64 Cakada tersebut.

Rakyat punya hak pilih untuk merespons, menilai dan menentukan pada saat hari H pemungutan suara nanti,” ungkap Kamhar.

Ketua Majelis Agung Partai Kebangkitan Nasional (PKN) Gede Pasek Suardika menyebut, status hukum 64 Cakada selesai selama pengadilan tidak mencabut hak politik mereka. “Ketika proses hukum sudah terlewati dan aturan tidak ada yang dilanggar, maka sejatinya semua warga negara harus diperlakukan sama,” jelas Pasek.

Hanya saja, status tersebut bakal menjadi beban mereka. Pasek khawatir penantang akan menjual status tersebut ke pemilih. Sekalipun, tambah Pasek, hal itu bukan termasuk kampanye hitam tapi kampanye negatif.

“Selanjutnya maka diserahkan kepada rakyat pemilih untuk menentukan siapa yang akan dipilih. Rakyat lah terakhir memegang otoritas atas kompetisi demokrasi yang dilakukan,” ucap Pasek.

Terpisah, Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah menyoroti fenomena adanya Cakada 2024 yang pernah mendekam di penjara. Dedi menilai, Cakada tersebut sudah tidak layak mengikuti kontestasi politik, termasuk pada Pilkada 2024.

“Semestinya mereka tidak layak dari sisi kapasitas maupun administrasi kontestasi, tetapi hukum di negara ini dirasakan lemah terkait sanksinya,” sebut Dedi.

Dedi juga berpendapat, KPU seharusnya membuat peraturan yang mensyaratkan kandidat tidak terlibat dalam dakwaan kriminal apa pun. “Untuk memperkuat itu, secara khusus diperlukan UU yang mengambil hak politik warga negara yang pernah terbukti lakukan kriminal,” tegasnya.

Namun, kata dia, hukum di Indonesia tidak demikian. Sehingga menurutnya, salah satu upaya yang bisa dilakukan KPU yakni memasang identitas kandidat yang pernah terlibat kasus, di setiap tempat pemungutan suara (TPS). Hal itu menurutnya dapat membantu para pemilih untuk lebih bijak menentukan pilihannya dalam memilih pemimpin daerah.

“Selemahnya upaya, perlu menuntut KPU memasang identitas kandidat di tiap TPS, termasuk menjelaskan kasus hukum yang sedang atau pernah dialami kandidat, ini akan membantu pemilih untuk menentukan pilihan,” bebernya.

Di dunia maya, warganet was-was dan heran dengan 64 manta napi yang lolos sebagai Cakada. “Kok bisa lolos,” tulis @Skyr2023. “Sedangkan dibeberapa pekerjaan kita harus lampirin SKCK buat daftar. Emang negara kocak,” sindir @datr___. “Rakyat sudah lupa kasusnya. Filternya nggak ada,” timpal @pengawalipman.

Sedangkan akun @ahmadshob5 mencolek Ketua DPR Puan Maharani agar melahirkan UU yang mengharamkan mantan napi maju di Pilkada. “Bu titip undang-undang perampasan aset koruptor dan mantan napi tidak boleh ikut jadi Caleg ataupun Cakada,” pintanya.

Akun @reality151515 berpendapat, harusnya orang yang berstatus mantan napi tidak berhak lagi memegang jabatan publik, apa pun kasusnya. “Mengapa? Karena mereka akan menjadi sosok yang memimpin negara. Pemimpin negara itu harus bersih,” tegasnya.

Komentar:
GROUP RAKYAT MERDEKA
sinpo
sinpo
sinpo