Menteri Hukum Minta Maaf
Wacana Denda Damai Untuk Koruptor Jadi Polemik
JAKARTA - Menteri Hukum, Supratman Andi Agtas, meminta maaf karena pernyataannya mengenai wacana denda damai untuk koruptor menuai polemik. Politisi asal Gerindra itu, meminta agar wacana tersebut dihentikan.
Sebelumnya, Supratman mengatakan, koruptor bisa diampuni aparat penegak hukum jika membayar denda damai. Mekanismenya bakal dilakukan oleh Kejaksaan Agung (Kejagung). Namun, ucapannya justru banjir kritik karena dinilai tak sesuai dengan semangat pemberantasan korupsi.
Mengetahui ucapannya keliru, Supratman mencoba meluruskannya. Dia menjelaskan, aturan mengenai denda damai sebenarnya sudah tertuang dalam Undang-Undang. Namun, hanya ditujukan untuk tindak pidana ekonomi, bukan tindak pidana khusus seperti korupsi.
"Sekali lagi, kalaupun nanti ada yang salah mengerti dengan apa yang saya ucapkan, ya saya menyatakan, saya mohon maaf,” ujarnya, di Jakarta, Sabtu (28/12/2024).
Mantan Ketua Baleg DPR ini menegaskan, sampai saat ini, Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto masih mencari cara yang lebih efektif untuk memberantas korupsi yang sudah berlangsung lama. Sebagai langkah nyata, Supratman menyebutkan bahwa Kementerian Hukum sedang menyusun Rancangan Undang-Undang tentang Grasi, Amnesti, Abolisi, dan Rehabilitasi yang didorong agar selesai pada 2025.
Hal itu guna mendukung keinginan Prabowo dalam memberikan pengampunan terhadap koruptor yang punya niat baik mengembalikan uang yang dicurinya kepada negara.
"Sampai hari ini kita belum bisa menyelesaikannya secara baik karena itu ada semangat baru dari Bapak Presiden yang ingin membicarakan mekanisme penyelesaian ini, meskipun sampai saat ini belum ada kebijakan pengampunan yang diambil," jelasnya.
Lebih lanjut, Supratman kembali menekankan apa yang dia sampaikan sebelumnya terkait denda damai buat koruptor hanya bertujuan sebagai perbandingan atau komparasi. Dengan demikian, usulan itu tidak bersifat kebijakan resmi dan belum tentu dituangkan ke dalam peraturan perundang-undangan.
Karena itu itu hanya komparasi. Bukan berarti Presiden akan menempuh itu, sama sekali tidak. Soal denda damai tadi, itu domainnya Jaksa Agung, bukan Presiden," tegasnya.
Anggota Komisi II DPR, Ahmad Irawan ikut buka suara mengenai polemik denda damai buat koruptor. Dia mengatakan, kewenangan tersebut mutlak berada di tangan Jaksa Agung untuk menangani tindak pidana yang menyebabkan kerugian perekonomian negara.
Meski begitu, politisi Partai Golkar ini menyebut apa yang disampaikan oleh Menteri Hukum tidak salah karena memang normanya membuka ruang untuk penafsiran. "Namun, perlu diperjelas dan pertegas undang-undang dengan merevisinya," ujar Irawan, Jumat (27/12/2024).
Irawan menjelaskan, denda damai sebenarnya masuk dalam kategori keadilan restoratif (restorative justice) atau di bidang ekonomi dikenal dengan istilah fiscal recovery yang merupakan upaya untuk memulihkan kerugian perekonomian negara.
Kewenangan itu dimiliki Jaksa Agung untuk kasus tertentu sesuai Pasal 35 ayat (1) huruf k Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan UU 16/2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
Dalam pasal tersebut dijelaskan denda damai merupakan upaya penghentian perkara di luar pengadilan. Namun, hanya bisa diterapkan dalam tindak pidana perpajakan, kepabeanan, atau tindak pidana ekonomi lainnya.
Anggota Baleg DPR ini kemudian mempertanyakan amanat Pasal 35 ayat 1 huruf k mengenai apa saja yang masuk dalam ruang lingkup tindak pidana ekonomi. Sebab, tidak salah jika muncul tafsir denda damai bisa juga diterapkan untuk tindak pidana yang menyebabkan kerugian perekonomian negara seperti korupsi.
"Karena inti delik dari perbuatan korupsi ialah perbuatan yang merugikan perekonomian negara,” jelasnya.
Untuk itu, Irawan menilai Pemerintah dan DPR perlu duduk bersama untuk menyesuaikan UU tindak pidana korupsi agar cocok dengan perkembangan dan arah politik hukum Presiden Prabowo yang menitikberatkan pada pemulihan asset dan kerugian.
“Begitu juga mengenai upaya denda damai ini, tindak pidana ekonomi dan kerugian perekonomian negara. Kita harus memperjelas dan memperinci kewenangan Jaksa Agung," pungkasnya.
Sebelumnya, Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Harli Siregar menegaskan, denda damai yang tertuang dalam UU Kejaksaan tidak bisa digunakan untuk penyelesaian Tindak Pidana Korupsi atau Tipikor. Sebab, denda damai hanya bisa digunakan untuk menangani tindak pidana ekonomi yang menyebabkan kerugian negara.
“Klasternya beda, kalau denda damai itu hanya untuk undang-undang sektoral. Karena itu adalah turunan dari Pasal 1 Undang-Undang Darurat Nomor 7 Tahun 1955 tentang tindak pidana ekonomi,” kata Harli.
Dia menegaskan, aturan denda damai dalam Pasal 1 UU Darurat dimaksud, telah diadopsi ke dalam pasal 35 (1) huruf K UU Nomor 11 Tahun 2021. Dengan demikian hanya berlaku untuk tindak pidana ekonomi seperti kepabeanan, cukai, dan perpajakan.
Ia pun menyebutkan dalam UU Darurat Nomor 7 Tahun 1955 memang dijelaskan soal denda damai yang memberikan kewenangan bagi Jaksa Agung terkait dengan finalisasi putusan.
"Tapi, itu tidak berlaku bagi koruptor. Di sisi lain, karena undang-undang kita itu masih baru, masih nanti dirumuskan seperti apa. Karena memang itu dasarnya jelas di undang-undang darurat itu, memang masih berlaku,” tambahnya," pungkasnya.
Terpisah, akademisi atau Pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera Bivitri Susanti menyatakan koruptor tidak bisa diampuni melalui mekanisme denda damai. Bivitri menilai pengampunan koruptor tidak sejalan dengan semangat pemberantasan korupsi.
Seakan-akan penegakan hukum korupsi itu hanya diperlukan untuk mengembalikan uang negara," ujarnya dalam keterangan video dikutip Sabtu, (28/12/2024).
Menurutnya, penegakan hukum terhadap koruptor seharusnya fokus memberikan efek jera. Misalnya mempercepat pembentukan UU Perampasan Aset. Dengan demikian koruptor akan takut miskin jika ketahuan korupsi.
Bivitri juga menyampaikan, penegakan hukum melalui pengembalian uang negara justri dapat memicu niat korupsi lebih banyak karena koruptor bisa diampuni asalkan mengembalikan uang curian.
"Dengan model pengampunan, ada potensi justru akan ada dampak ketidakadilan dan membuat orang-orang serakah justru akan senang mencoba-coba korupsi. Kalau nanti uangnya bisa ya kembalikan kapan saja," tutupnya.
TangselCity | 15 jam yang lalu
Internasional | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Olahraga | 1 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Olahraga | 1 hari yang lalu
Pos Tangerang | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu