Menkes Soal KLB Campak Penularannya Cepat, Jangan Tunda Berobat

JAKARTA - Kasus campak di beberapa wilayah Indonesia rupanya sudah masuk kategori KLB (Kejadian Luar Biasa). Ada 46 wilayah KLB. Dan salah satu yang terparah adalah di Sumenep, Madura, Jawa Timur. Di wilayah itu, tercatat 2.035 kasus dengan 17 orang meninggal, Bangkalan 548 suspek dengan 1 korban jiwa, Pamekasan 123 anak terinfeksi dengan 1 meninggal, dan Sampang 413 kasus. Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin angkat bicara soal ini. Menkes mengingatkan masyarakat agar tidak menyepelekan campak. “Campak ini penyakit berbahaya. Bisa menyebabkan kematian, dan penularannya bahkan lebih cepat dibanding COVID-19,” kata Budi dalam wawancara dengan Rakyat Merdeka, di Jakarta, Rabu (27/8/2025). Menkes mengimbau masyarakat segera melengkapi imunisasi wajib, termasuk imunisasi campak, agar kasus tidak meluas.
Menurut dia, lonjakan kasus disebabkan rendahnya cakupan imunisasi dalam beberapa tahun terakhir. Kondisi itu membuat kekebalan kelompok (herd immunity) tidak terbentuk optimal. Budi menambahkan, Kemenkes langsung menurunkan Tim Gerak Cepat (TGC) untuk melakukan penyelidikan epidemiologi dan outbreak response immunization (ORI). “Begitu ada laporan, koordinasi segera dilakukan. Surveilans harus berjalan optimal supaya rantai penularan bisa cepat diputus,” tegasnya.
Selain memperkuat layanan kesehatan, Kemenkes terus mengintensifkan promosi imunisasi. Edukasi dilakukan lewat tokoh agama, tokoh masyarakat, organisasi keagamaan, hingga kampanye di media sosial. Budi juga menegaskan bahwa isu vaksin menyebabkan autisme tidak benar.
Berikut kutipan selengkapnya.
Penyakit campak sudah masuk kategori KLB di sejumlah wilayah Indonesia. Bagaimana tanggapan Bapak terkait hal ini? Apa langkah cepat Kemenkes untuk merespons kejadian ini?
Campak adalah penyakit berbahaya, dapat menyebabkan kematian, dan sangat menular bahkan lebih cepat dibandingkan COVID-19. Cakupan imunisasi yang belum mencapai target dalam beberapa tahun terakhir mengakibatkan belum terbentuknya kekebalan kelompok (herd immunity) secara optimal, sehingga ketika ada kasus, potensi penularannya lebih mudah dan cepat. Kita menyadari ini masih menjadi tantangan karena masih adanya penolakan di masyarakat yang dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti pemahaman yang kurang baik, budaya dan keyakinan. Tapi kita terus berupaya meningkatkan promosi kesehatan meyakinkan masyarakat akan pentingnya imunisasi.
Selain cakupan imunisasi kinerja surveilans yang optimal sangat dibutuhkan untuk segera memutus mata rantai penularan dan potensi KLB bisa ditekan semaksimal mungkin. Kementerian Kesehatan segera bertindak ketika mendapatkan informasi, rapat koordinasi segera dilakukan dan TGC (tim gerak cepat) segera mengambil langkah untuk respon dengan melakukan penyelidikan epidemiologi dan melaksanakan ORI (outbreak response immunization).
Campak tidak hanya berbahaya bagi penderitanya. Ibu hamil yang tertular campak pun bisa berisiko tinggi seperti komplikasi kehamilan, keguguran, dan cacat janin. Bagaimana mitigasi penularan campak di kalangan ibu hamil, di tengah situasi lonjakan kasus seperti ini?
Iya, campak tidak hanya berbahaya bagi anak-anak, tetapi juga pada Ibu hamil yang merupakan kelompok rentan dan berisiko tinggi apabila tertular campak karena dapat menyebabkan keguguran, bayi lahir prematur dengan berat badan lahir rendah dan komplikasi kehamilan.
Untuk menghindari risiko penularan campak, ibu hamil dianjurkan untuk menggunakan masker setiap keluar rumah dan menghindari interaksi dengan penderita campak, melakukan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat terutama mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir, serta menghindari kontak dengan orang yang sakit atau kemungkinan tertular virus campak seperti orang yang bergejala demam, batuk, pilek dan memiliki bercak kemerahan.
Selain itu, tenaga kesehatan juga perlu memberikan edukasi kepada masyarakat apabila ada ibu hamil yang mengalami gejala demam dan ruam merah, maka segera datang ke puskesmas atau fasilitas pelayanan kesehatan lainnya untuk mendapatkan pengobatan.
Menurut Bapak, apa yang menjadi faktor utama meningkatnya kasus campak di Madura. Apakah karena cakupan imunisasi rendah, kendala distribusi vaksin, atau faktor sosial budaya? Apakah ini ada kaitannya dengan tren penolakan vaksin di sebagian masyarakat?
Meningkatnya kasus, bahkan hingga ditetapkannya Kejadian Luar Biasa (KLB) campak di Madura, disebabkan oleh beberapa faktor utama. Pertama, rendahnya cakupan imunisasi campak yang membuat banyak populasi menjadi rentan, sehingga penularan sangat mudah terjadi. Kondisi ini semakin diperburuk oleh masalah malnutrisi serta belum optimalnya kinerja surveilans campak-rubella. Surveilans yang tidak berjalan dengan baik membuat deteksi dini terhambat. Akibatnya, respon cepat pun terlambat dilakukan. Keterlambatan ini berdampak pada semakin sulitnya memutus mata rantai penularan, sehingga jumlah kasus terus meningkat.
Selain itu, karakteristik penyakit campak yang bersifat self-limiting disease atau bisa sembuh sendiri, membuat banyak orang menunda untuk memeriksakan diri ke fasilitas pelayanan kesehatan. Penundaan ini justru menyebabkan penularan lebih masif di lingkungan tempat tinggalnya.
Ada kekhawatiran di tengah masyarakat, bahwa vaksin MMR yang memberikan perlindungan jangka panjang terhadap campak, gondongan, dan rubella bisa memicu kejadian autisme. Bagaimana fakta ilmiah yang sebenarnya, agar masyarakat tidak salah paham dan malah merugikan diri sendiri?
Tidak ada bukti ilmiah yang mendukung klaim bahwa imunisasi menyebabkan autisme. Sejumlah penelitian besar telah dilakukan untuk mengevaluasi kemungkinan kaitan antara vaksin dan autisme, dan hasilnya konsisten. Tidak ada hubungan yang ditemukan. Klaim yang sempat mencuat pada tahun 1998, ketika sebuah penelitian menyebut adanya keterkaitan antara vaksin dan autisme, terbukti keliru. Penelitian itu telah ditarik dari jurnal medis yang menerbitkannya, sementara dokter yang menulis laporan tersebut dicabut izin praktiknya.
Isu lain yang kerap dikaitkan adalah penggunaan thimerosal, bahan pengawet vaksin yang mengandung merkuri. Namun, bukti ilmiah menunjukkan thimerosal dalam jumlah kecil yang digunakan pada vaksin tidak menimbulkan masalah kesehatan signifikan, termasuk autisme.
Studi berskala besar yang melibatkan hampir 660 ribu anak selama 11 tahun juga menegaskan bahwa vaksin tidak terkait dengan autisme. Hal ini diperkuat oleh pernyataan lembaga kesehatan dunia seperti World Health Organization (WHO), Centers for Disease Control and Prevention (CDC), hingga Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) yang menegaskan vaksin aman dan tidak menyebabkan autisme.
Apakah saat ini Indonesia memiliki cukup banyak wilayah yang resisten menerima vaksinasi? Bagaimana strategi Kemenkes untuk memastikan cakupan imunisasi dasar lengkap, khususnya di daerah dengan resistensi atau akses sulit seperti Madura?
Salah satu tantangan dalam program imunisasi adalah masih adanya kelompok masyarakat yang menolak imunisasi karena berbagai sebab. Di antaranya karena pemahaman yang kurang, masalah keyakinan ataupun budaya. Untuk mengatasi tantangan tersebut tentu dibutuhkan strategi dan pendekatan yang berbeda, sesuai dengan latar belakang penolakannya. Oleh karena itu, kami terus berupaya untuk melakukan promosi dan edukasi kepada masyarakat melalui berbagai media dengan mengajak tokoh agama, tokoh masyarakat, organisasi profesi terkait, organisasi masyarakat/keagamaan seperti Muslimat NU, Aisyah, Perdhaki, Pelkesi dan PKK. Di samping itu kami juga terus melakukan kegiatan-kegiatan inovatif untuk menaikkan cakupan imunisasi seperti Sepekan Mengejar Imunisasi (PENARI) dan Survey Cepat Komunitas (SCK).
Bagaimana Kemenkes bekerja sama dengan tokoh masyarakat, ulama, dan pemerintah daerah untuk mengatasi tantangan budaya dan kepercayaan soal imunisasi? Apa rencana Kemenkes untuk memperkuat komunikasi publik agar orang tua lebih percaya pada imunisasi?
Upaya meningkatkan kesadaran masyarakat soal imunisasi terus digencarkan Kementerian Kesehatan. Salah satunya melalui advokasi kepada tokoh masyarakat dan tokoh agama, sekaligus mendorong pemerintah daerah melakukan promosi kesehatan dengan melibatkan berbagai sektor. Edukasi juga diberikan menggunakan bahasa daerah agar lebih mudah dipahami. Untuk beberapa program imunisasi, bahkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa halal, terutama dalam kondisi darurat, sehingga diharapkan dapat menepis keraguan masyarakat.
Kemenkes juga secara berkala melakukan diseminasi informasi melalui berbagai kanal resmi. Bentuknya beragam, mulai dari talkshow streaming dengan pakar kesehatan anak dan imunisasi, konten edukatif di media sosial, hingga press briefing dan press release terkait pentingnya vaksinasi serta jaminan keamanan dan manfaatnya.
Kolaborasi lintas kementerian/lembaga, jurnalis, pakar kesehatan, hingga influencer pun dijalankan untuk memperkuat kampanye imunisasi. Pesannya kemudian diperluas lewat amplifikasi di media massa maupun kanal digital.
Di sisi lain, Kemenkes juga menaruh perhatian khusus pada penanganan hoaks. Berbagai upaya dilakukan untuk melawan misinformasi seputar vaksin, baik di media sosial maupun media mainstream. Hal ini penting agar isu-isu negatif tidak merusak kepercayaan masyarakat terhadap imunisasi.
Pos Banten | 2 hari yang lalu
Pos Banten | 11 jam yang lalu
Pos Banten | 1 hari yang lalu
Pos Banten | 10 jam yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Olahraga | 1 hari yang lalu
Nasional | 1 hari yang lalu