TangselCity

Pos Tangerang

Pos Banten

Politik

Olahraga

Nasional

Pendidikan

Ekonomi Bisnis

Galeri

Internasional

Selebritis

Lifestyle

Opini

Hukum

Advertorial

Kesehatan

Kriminal

Indeks

Dewan Pers SinPo

Paparkan Pelanggaran HAM Di Senayan

Cerita, Sempat Dicap Menteri Pembohong

Oleh: Farhan
Rabu, 05 Juli 2023 | 09:47 WIB
Foto : Ist
Foto : Ist

JAKARTA - Upaya Pemerintah dalam menyelesaikan pelanggaran HAM berat di masa lalu bukanlah perkara mudah. Saking rumitnya, Menko Polhukam Mahfud MD bercerita pernah dicap sebagai menteri pembohong. Pernyataan itu disampaikan Mahfud saat rapat kerja dengan Komite I DPD RI, di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, kemarin.

Selain Mahfud, rapat yang dipimpin oleh Wakil Ketua DPD Nono Sampono ini diikuti Wakil Jaksa Agung Sunarta, dan perwakilan dari Deputi III Badan Intelijen Negara (BIN) Aswardi. Rapat membahas soal Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 17 Tahun 2022, Keppres Nomor 4 Tahun 2023, serta Instruksi Presiden (Inpres) No. 2 Tahun 2023 mengenai Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat.

Begitu rapat dibuka, Nono Sampono langsung mempertanyakan alasan terbitnya Keppres dan Inpres tersebut. Alasannya, Keppres dan Inpres ini telah menimbulkan perdebatan di masyarakat atas peristiwa pelanggaran HAM di masa lalu.

“Kami telah mengundang para pakar untuk mendapatkan gambaran. Perhatian kami berkaitan dengan peristiwa tahun 1965,” cecar Nono.

Wakil Ketua Komite I DPD Filep Wamafma juga mempertanyakan hal yang sama. Ia bertanya seberapa urgen Presiden sampai harus mengeluarkan Keppres dan Inpres tersebut.

Filep mempertanyakan bagaimana pemerintah akan mengakomodir peristiwa tahun 1965 diselesaikan secara non yuridis. Menurut dia, kasus pelanggaran HAM pada tahun 1965 ini tidak berjalan tuntas karena sampai saat ini pelaku peristiwa 1965 tidak terungkap ke publik.

“Pertanyaan kami kenapa pelaku pelanggaran yang sudah bertahun-tahun ini tidak ada kejelasannya,” cecarnya.

Dicecar banyak pertanyaan dari para Senator, Mahfud tetap santai. Eks Ketua Mahkamah Konstitusi itu lantas memberikan pemaparan terkait Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM (PPHAM).

Dalam rapat itu, Mahfud menceritakan pengalamannya pernah dituduh sebagai menteri pembohong ketika baru dilantik pada 2019. Ia dicap pembohong karena menyebut tidak ada pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat di era pemerintahan Presiden Jokowi.

Saat itu marah semua sama saya. Ada yang bilang saya menteri bohong,” kenang Mahfud.

Mahfud mengatakan, secara aturan memang tidak ada pelanggaran HAM berat di masa pemerintahan Jokowi. Yang ada, kata Mahfud, yakni kejahatan berat.

Selama ini, lanjut Mahfud, banyak masyarakat yang belum paham untuk membedakan pelanggaran HAM berat dengan kejahatan berat. Padahal menurut Undang-Undang 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia sudah dijelaskan perbedaan itu.

Pelanggaran HAM berat menurut undang-undang, kata Mahfud, yakni pembunuhan massal, pembunuhan sewenang-wenang atau di luar putusan pengadilan, penyiksaan, penghilangan orang secara paksa, perbudakan, atau diskriminasi yang dilakukan secara sistematis. Selain itu, sebuah peristiwa juga tidak bisa langsung dicap sebagai pelanggaran HAM berat. Perlu ada keputusan yang dikeluarkan oleh Komnas HAM.

Terorisme itu bukan pelanggaran HAM berat, meskipun akibatnya lebih besar dari pelanggaran HAM berat. Terorisme di Bali itu membunuh 220 orang, sementara peristiwa Paniai itu korbannya satu orang. Tapi dianggap pelanggaran HAM berat,” kata Mahfud, memberi contoh.

Mahfud lalu menjawab pertanyaan para senator. Dia bilang, pasca reformasi tahun 1998 banyak bermunculan kasus pelanggaran masa lalu, termasuk peristiwa tahun 1965. Negara telah memerintahkan untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat ini, baik secara yudisial dan non yudisial secara simultan.

Mahfud mengakui, tugas ini sangat sulit karena pada tahun 1998 hingga tahun ini tidak menghasilkan apa-apa. “Selama 25 tahun diperintah untuk menyelesaikan pelanggaran ini, tapi tidak menghasilkan apa-apa,” ungkapnya.

Selama itu juga, kata Mahfud, sudah ada 35 orang yang diseret ke meja hijau atas tuduhan pelaku pelanggaran HAM berat. Namun dalam pengadilan, faktanya 35 orang itu dibebaskan semua atau tidak dapat dihukum. Pengadilan mengatakan tidak ada pelanggaran HAM karena tidak ada bukti yang kuat.

“Pertanyaan dari hakim, kapan peristiwa itu? Di mana? Jam berapa? Pakai apa? Itu sulit dibuktikan karena peristiwa ini sudah bertahun-tahun. Jejaknya hilang semua,” bebernya.

Atas dasar itulah, kata Mahfud, maka pemerintah memilih jalan non yudisial, yakni program pemulihan terhadap korban HAM berat masa lalu. Namun, proses yudisia terhadap pelanggaran HAM berat masa lalu masih tetap berjalan.

Dia menjelaskan, sejauh ini pemerintah telah melakukan beberapa program pemulihan seperti memberikan beasiswa pendidikan, pelatihan kerja, pendirian dan pendampingan usaha.

“Ada juga akses pembiayaan permodalan dan seterusnya,” terangnya.

Mahfud menyebut, pemerintah juga memberikan santunan dan melakukan renovasi atau pembangunan rumah bagi korban. Presiden Jokowi, kata Mahfud, telah mengecek langsung ada 16 rumah korban, yakni Rumah Geudong di Pidie, Aceh sudah dibangun.

Menurutnya, pemerintah juga mendirikan masjid di rumah Geudong di Aceh atas permintaan korban.

Di tempat yang sama, Wakil Jaksa Agung Sunarta membeberkan penyidikan yang dilakukan terkait pelanggaran HAM berat di masa lalu. Mulai dari peristiwa tahun 1965-1966, petrus (penembakan misterius), peristiwa Paniai dan lain-lain. Hasilnya, kata dia, tetap nihil. Pengadilan memutuskan bahwa semua itu bukan pelanggaran berat.

“Kesulitan kami dalam bukti peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu karena alat bukti dan saksi tidak ada, serta semuanya telah dimakan waktu,” terangnya.

Deputi III BIN Aswardi menambahkan, pihaknya merupakan supporting kementerian/lembaga untuk Tim Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia (PPHAM). Hasil deteksi pada peristiwa tahun 1965 bahwa ada penolakan dari korban yang tidak mau di-publish sehingga menjadi kendala.

“Kendala kami yaitu ada salah satu korban yang tidak mau dipublikasikan. Sedangkan untuk proses yudisial, dalam mencari bukti sangat sulit karena kasus lama,” ucapnya.

Komentar:
GROUP RAKYAT MERDEKA
sinpo
sinpo
sinpo