Tarif PPN 12 Persen Manfaat Pajak Kembali Ke Rakyat
JAKARTA - Mulai 1 Januari 2025, tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) akan naik dari 11 persen menjadi 12 persen. Pemerintah menyatakan, kenaikan tarif ini, untuk menjaga kesehatan APBN, agar bisa merespon situasi global yang saat ini tidak menentu.
Kenaikan tarif PPN adalah bagian dari reformasi perpajakan. Hal ini sudah diatur dalam UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan atau UU Nomor 7 Tahun 2021 yang disahkan pada 29 Oktober 2021 dan telah dilakukan pembahasan mendalam dengan DPR. Implementasi kenaikan tarif PPN telah dilakukan secara bertahap, yaitu dari sebesar 10 persen menjadi sebesar 11 persen yang mulai diberlakukan pada 1 April 2022 dan kemudian menjadi sebesar 12 persen yang akan diberlakukan paling lambat 1 Januari 2025.
Naiknya PPN ditujukan bagi penambahan pendapatan negara dan mengurangi ketergantungan pada utang luar negeri. Maksud penyesuaian tarif adalah untuk optimalisasi penerimaan negara dengan tetap mewujudkan sistem perpajakan yang berkeadilan dan berkepastian hukum. Dengan potensi pendapatan pajak yang lebih besar, maka bisa memperkuat kesehatan fiskal, memberikan kestabilan ekonomi jangka panjang, termasuk untuk pembiayaan APBN.
Untuk periode anggaran tahun 2025, Pemerintah mengalokasikan dalam APBN antara lain Pendidikan (Rp 722,6 triliun atau naik dari tahun lalu sebesar Rp 665 triliun), Kesehatan (Rp 197,8 triliun atau naik dari tahun lalu sebesar Rp 187,5 triliun), dan Perlindungan Sosial (Rp 504,7 triliun atau naik dari tahun lalu sebesar Rp 496,8 triliun). Untuk itu diperlukan kapasitas fiskal yang mencukupi dalam mendukung pembangunan nasional.
Tarif PPN Indonesia tergolong lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata tarif PPN global yang mencapai 15,4 persen. Sementara negara-negara OECD tarif PPN sebesar 19 persen, dan negara-negara BRICS yang berada di angka 17 persen. Di kawasan ASEAN, Indonesia berada di urutan kedua setelah Filipina dengan tarif PPN sebesar 11 persen.
Dalam lima tahun terakhir, beberapa negara mengalami penyesuaian tarif pajak atas konsumsi, termasuk Indonesia, Singapura, dan Sri Lanka. Namun, sejumlah negara telah melakukan beberapa kali perubahan tarif PPN dalam beberapa tahun sebelumnya. Contohnya, Jepang yang menaikkan tarif dari 5 persen (2014) menjadi 8 persen (2015), dan menjadi 10 persen (2019). Begitu juga dengan Kolombia yang mengubah tarif dari 16 persen (2016) menjadi 19 persen (2017). Finlandia meningkat dari 23 persen (2012) menjadi 24 persen (2013). Di Perancis, tarif PPN naik dari 19,6 persen (2013) menjadi 20 persen (2014). Irlandia mengubah tarif dari 21 persen (2011) menjadi 23 persen (2012).
Dalam dokumen mengenai Langkah Strategis Menuju Sistem Perpajakan Berkeadilan dan Berkelanjutan, tercatat kenaikan tarif PPN memang akan berdampak pada naiknya harga barang kena pajak (BKP) dan jasa kena pajak (JKP). Namun hal ini akan dikompensasi dengan pemberian subsidi bagi masyarakat berpenghasilan rendah sehingga akan tetap menjaga daya beli masyarakat.
Pemerintah juga memastikan kebijakan penyesuaian tarif ini tetap mengedepankan kepentingan masyarakat, terutama dalam hal kebutuhan pokok seperti beras, daging, dan telur. Meskipun barang-barang ini tergolong barang kena pajak, barang-barang tersebut tetap dibebaskan dari pengenaan PPN. Selain itu, sejumlah jasa tertentu seperti jasa kesehatan, pendidikan, sosial, asuransi, dan angkutan umum juga akan tetap bebas PPN.
Sebagai langkah mitigasi, pemerintah akan merumuskan kebijakan yang seimbang, yang tidak hanya mendukung perekonomian secara keseluruhan, tetapi juga membantu kelompok rentan dan masyarakat tidak mampu. Pemerintah juga akan memberikan dukungan kepada dunia usaha, khususnya usaha kecil dan menengah, dengan tetap menjaga kestabilan kesehatan keuangan negara. Pemerintah berencana melakukan sosialisasi secara intensif kepada publik mengenai pemberlakuan penyesuaian tarif PPN ini agar masyarakat lebih memahami dan siap menghadapi perubahan yang ada.
Pengamat Ekonomi, Ryan Kiryanto mengatakan, kenaikan tarif PPN jadi 12 persen ini, wajib dilakukan karena sudah menjadi perintah undang-undang. Tepatnya, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
Kebijakan yang sudah ditetapkan pada 2021 itu, tak bisa ditarik mundur. Dalam kondisi saat ini, kata Ryan, yang harus dilakukan Pemerintah adalah melakukan sosialisasi kembali kebijakan tersebut.
Menurut dia, Direktorat Pajak terutama Kantor Wilayah (Kanwil) Pajak di daerah harus melakukan sosialisasi ini. Dalam sosialisasi ini, mereka juga harus menyampaikan kenapa Pemerintah menaikkan tarif PPN.
Menurutnya, komunikasi itu harus dilakukan mulai dari sekarang. Jangan menunggu tahun depan. Tujuannya, agar wajib pajak, terutama para pengusaha, bisa mempersiapkan dan menghitung ulang dampak dari kenaikan tarif PPN itu.
"Masih ada waktu dua bulan sebelum kebijakan itu berlaku. Jangan lelah resosialisasi. Tujuannya, agar pengusaha tidak kaget," kata Ryan, saat dikontak Redaksi, Rabu (20/11/2024).
Ryan menambahkan, dalam sosialisasi itu, Pemerintah perlu melakukan rasionalisasi kenaikan PPN jadi 12 persen. Gunakan bahasa yang mudah dimengerti oleh audiens. Dan sampaikan secara berulang. Agar audiens memahami alasan di balik kenaikan PPN ini.
Menurut Ryan, Pemerintah perlu menaikkan tarif PPN untuk menambah penerimaan negara yang akan digunakan untuk membangun layanan publik. Seperti membiayai infrastruktur, membangun jalan, rumah sakit, sekolah dan sebagainya.
"Masyarakat perlu memahami bahwa uang dari pajak ini akan kembali kepada pembayar pajak dalam bentuk antara lain layanan publik," ungkapnya.
Mantan Corporate Secretary BNI ini mengungkapkan, ada orang enggak membayar pajak, karena tidak paham. Selain itu, mereka khawatir uang pajaknya dikorupsi. Karena itu harus dipastikan uang pajak akan dikelola dengan baik dan akan kembali kepada masyarakat.
"Harus ada kepastian bahwa hasil pajak untuk kepentingan umum, dan tidak dikorupsi pejabat," tegasnya.
Di tempat terpisah, Pengamat Pajak dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Fajry Akbar berharap, penerimaan tambahan dari kebijakan PPN 12 persen dapat kembali dirasakan manfaatnya oleh masyarakat, terutama kelompok menengah ke bawah. Menurut dia, tambahan penerimaan negara dari kenaikan tarif ini perlu difokuskan untuk mendukung kesejahteraan rakyat.
“Pemerintah perlu memastikan tambahan penerimaan tersebut disalurkan ke masyarakat kelas menengah ke bawah, baik dalam bentuk fasilitas publik maupun jaminan sosial,” kata Fajry.
Menurut Fajry, Pemerintah perlu memberikan manfaat yang lebih besar kepada masyarakat dibandingkan beban yang ditanggung mereka akibat kenaikan tarif ini. “Misalnya, jika masyarakat membayar tambahan pajak Rp 200, maka manfaat yang diterima seharusnya mencapai Rp 250,” paparnya.
Olahraga | 1 hari yang lalu
TangselCity | 23 jam yang lalu
Olahraga | 2 hari yang lalu
Olahraga | 1 hari yang lalu
Olahraga | 1 hari yang lalu
Pos Tangerang | 1 hari yang lalu
Pos Banten | 2 hari yang lalu
Pos Banten | 1 hari yang lalu
Nasional | 1 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu