TangselCity

Pos Tangerang

Pos Banten

Politik

Olahraga

Nasional

Pendidikan

Ekonomi Bisnis

Galeri

Internasional

Selebritis

Lifestyle

Opini

Hukum

Advertorial

Kesehatan

Kriminal

Indeks

Dewan Pers

Puan Dan Ketum Muhammadiyah Senada Soal PPN 12 Persen

Reporter: AY
Editor: admin
Jumat, 20 Desember 2024 | 08:31 WIB
Ketua DPR Puan Maharani. Foto : Ist
Ketua DPR Puan Maharani. Foto : Ist

JAKARTA - Ketua DPR Puan Maharani dan Ketua Umum Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah Haedar Nashir memiliki pandangan senada soal Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen. Meskipun PPN 12 persen sudah diputuskan dan akan berlaku 1 Januari 2025, keduanya meminta Pemerintah mengkaji ulang kebijakan tersebut.

 

Puan tak menampik, PPN 12 persen merupakan amanat dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2024 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Namun, Puan meminta Pemerintah mendengarkan masukan dari para ekonom terkait efek dari kebijakan tersebut.

 

“UU HPP juga mengamanatkan Pemerintah dapat mengusulkan penurunan tarif PPN. Kita harus cermat dalam memperhatikan dampaknya terhadap daya beli masyarakat dan pertumbuhan ekonomi,” kata Puan, dalam keterangannya, Kamis (19/12/2024).

Menurut Puan, meskipun sasaran PPN 12 persen adalah barang mewah, tapi tidak serta merta menghilangkan kekhawatiran pelaku UMKM. “Masih ada kekhawatiran, kebijakan ini dapat memperburuk keadaan bagi kelas menengah dan pelaku usaha kecil,” lanjut Puan.

 

Belum lagi kekhawatiran kelompok keluarga yang berpendapatan rendah dan menengah. Puan berpendapat, sektor konsumsi rumah tangga secara umum akan terdampak. Akibatnya bisa memicu inflasi pada barang konsumsi harian seperti pakaian, perlengkapan kebersihan dan obat-obatan, yang merupakan kebutuhan dasar bagi banyak keluarga.

 

“Dampak bisa terjadi kepada masyarakat ketika produsen dan pelaku usaha menaikkan harga produk secara antisipatif sehingga memicu inflasi naik semakin tinggi. Ini yang harus diantisipasi,” ungkap politisi PDIP itu.

 

Karenanya, Puan meminta Pemerintah untuk mengantisipasi dampak yang akan terjadi dengan rencana kenaikan tarif PPN dari 11 persen menjadi 12 persen. Puan berharap agar kenaikan pajak harus digunakan untuk peningkatan pelayanan bagi rakyat.

“Kami memahami tujuan kenaikan PPN untuk meningkatkan penerimaan negara dan mengurangi defisit anggaran. Namun, Pemerintah harus memperhatikan dampak yang akan muncul dari kebijakan tersebut,” warningnya.

 

Hal senada juga disampaikan Haedar Nashir. Bos Muhammadiyah ini mendesak Pemerintah mengkaji ulang kenaikan pajak 12 persen. Menurut Haedar, seharusnya Pemerintah merumuskan kebijakan berlandaskan keadilan sosial.

Perlu betul-betul dikaji ulang ya. Sehingga kebijakan pajak itu juga memperhatikan aspek keadilan sosial,” pinta Haedar, di Yogyakarta.

 

Haedar mengingatkan, urusan pajak selalu bertalian dengan pelaku UMKM dan masyarakat sebagai penggunanya. Tentunya, kata dia, kebijakan soal pajak tidak boleh menghambat semangat kemajuan di masyarakat.

 

“Policy (kebijakan) pajak di Indonesia tidak akan lepas dari kondisi kehidupan bangsa dan cita-cita keadilan sosial. Jadi, harus diperhatikan betul kebijakan pajak ini,” terang Haedar.

 

Selain DPR dan Muhammadiyah, kelompok usaha juga keberatan dengan kenaikan PPN 12 persen. Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Kamdani tidak percaya cuma barang mewah yang pajaknya ditetapkan 12 persen.

 

“Bahwa penamaan itu sebagai barang mewah atau bahan premium itu bisa saja, tapi hampir semua itu terkena 12 persen. Hampir semua jenis barang dan jasa-jasa, kecuali bahan pokok dan sembako,” sebut Shinta di Kantor Apindo.

 

Shinta mengingatkan Pemerintah bahwa kebijakan ini ujung-ujungnya membuat semua elemen gusar. Sekalipun, sambungnya, Pemerintah akan menggelontorkan sejumlah insentif untuk mengantisipasi dampak kenaikan tersebut.

Insentif tidak akan berdampak banyak. Insentif juga katanya, tidak dinikmati dunia usaha,” tandas dia.

 

Ia menilai kebijakan tersebut tidak memberikan keuntungan bagi pelaku usaha. “Jadi yang kena manfaat itu adalah pekerja yang gajinya di bawah Rp 10 juta. Jadi ini tidak membantu pelaku usahanya, industri padat karya itu nggak kebantu,” jelas Shinta.

Shinta meyakini kenaikan PPN 12 persen bakal menjadi salah satu indikator meningkatnya inflasi di 2025. Akan tetapi, Apindo memproyeksikan inflasi di 2025 tetap terjaga di kisaran 2,5 plus minus 1 persen sesuai dengan target Bank Indonesia (BI). “Implementasi PPN 12 persen, permintaan musiman di kuartal I, terkait dengan momentum Ramadan dan Lebaran akan meningkatkan inflasi di awal tahun,” terangnya.

 

Sekadar informasi, guna mengantisipasi dampak kenaikan PPN 12 persen Pemerintah akan memberlakukan sejumlah paket stimulus ekonomi untuk menjaga kesejahteraan masyarakat.

Adapun desain insentif berupa Paket Stimulus Ekonomi untuk mengantisipasi gejolak ekonomi dari kenaikan tarif PPN 12 persen dibagi menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama yakni Rumah Tangga Miskin dan Rentan, kedua Kelas Menengah, dan ketiga UMKM atau Wirausaha atau Industri.

 

Bagi kelompok rumah tangga berpendapatan rendah, stimulus yang diberikan berupa PPN Ditanggung Pemerintah (DTP) sebesar 1 persen dari kebijakan PPN 12 persen. DTP ini untuk Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting (Bapokting) seperti Minyak Kita, tepung terigu, dan gula industri. Sehingga PPN yang dikenakan tetap sebesar 11 persen.

Selain itu, Pemerintah juga merancang kebijakan Bantuan Pangan/Beras sebanyak 10 kilogram (kg) per bulan 16 juta Penerima Bantuan Pangan (PBP) selama 2 bulan, dari Januari-Februari 2025. Pemerintah juga akan memberikan diskon biaya listrik sebesar 50 persen selama 2 bulan, dari Januari-Februari 2025 bagi pelanggan listrik dengan daya listrik terpasang hingga 2200 VA guna mengurangi beban pengeluaran rumah tangga.

Komentar:
GROUP RAKYAT MERDEKA
RM ID
Banpos
Satelit